Bima memaksa ibunya

Aku pulang dalam keadaan senang, percaya diri, tapi bima tak ada dirumah. Bima datang sekit…
Bima memaksa ibunya
Aku pulang dalam keadaan senang, percaya diri, tapi bima tak ada dirumah. Bima datang sekitar jam 6 memakai baju basket, terlihat berkeringat dan kotor. Rambutnya basah. Kubayangkan beginilah dia ketika selesai ngewe wanita dengan kontolnya. Sial, aku berdiri di depannya. Marah.

“Ke mana saja jam segini baru pulang?”

“Huh? Habis main basket mah.”

“Apa kau lupa? Kau lagi mama hukum.”

“Mama serius?”

“Tentu saja. Vacuum mama malah kau rusakkan.”

Anakku menyeringai padaku.

“Aku juga menyakiti tenggorokan mama, apakah akan dihukum juga?”

“Dasar nakal. Pergi ke kamarmu!”

“BIma hanya bercanda mah. Santai saja.”

“Tidak, itu bukan bahan candaan.”

“Terserah”

Aku terkejut. Kukira menghisap ****** anakku bakal membuatku lebih dihormati. Ternyata tidak. Setidaknya sekarang aku tahu, seks tidak bisa merubah sifat orang.

Kuikuti bima, kuketuk pintunya.

“Bima. Kamu harus minta maaf sama mama.”

Bima membuka pintunya…telanjang. Ya, aku telah melihatnya telanjang, tapi aku tak mengharapkannya lagi.

“Kenapa tak dibaju?”

“Bima mau mandi mah. Baiklah maafkan bima mah.”

Kukepal tanganku mencoba mengalihkan mataku dari kontolnya. Sungguh besar, menggantung di antara pahanya.

“Mama ingin kamu serius.”

“Baiklah. Bima minta maaf atas kata – kata bima barusan. Bima hanya bercanda. Bima kira mama takkan menanggapi serius.”

“Tentu saja. Mama tak bangga melakukan itu dan bima memaksa mama. Mama hanya mencoba menolong dan tak ingin dijadikan bahan candaan. Kamu harus menghormati mama.”

“Bima memang menghormati mama. Maaf bima maksa mama hisap ****** bima. Bima kira mama menginginkannya.”

“Mengapa kau berpikir begitu?”

Aku masih pura – pura marah padanya. Kuusahakan agar mataku tak menatap kontolnya. Memekku tahu itu. Otakku mengirim sinyal hingga memekku basah.

“Kelihatannya mama menikmati mengocok ****** bima, dan mama terus menatap ****** bima, dan hisapan mama. Jadi kukira mama mengingkannya.”


“Mama kasih tahu, mama tak ingin.”

“Benarkah? Karena saat mama menghisap kontolku, kurasa mama menginginkannya.”

“Mama hanya berusaha agar kamu cepat kluar. Karena mama mahir bukan berarti mama menyukainya.”

“Uh huh. Bima mau minta mama menghisap ****** bima lagi sehabis mandi.”

“Apa kamu gila? Mama sudah bilang hanya sekali dan takkan terulang.”

“Nah, bima rasa tidak. Bima rasa mama menginginkannya.”

Bima mendekat, meraih tanganku dan membawanya ke kontolnya. Kucoba menarik tanganku tapi pegangannya kuat.

“Bima, lepaskan mama.”

“Jangan melawan.”

Tanganku ditekannya. Menempelnya tanganku membuat kontolnya semakin membesar.

“Hentikan. Mama takkan melakukan ini lagi. Ini salah. Mama ibumu demi tuhan.”

“Mah, bima mau bilang sesuatu. Bima ingin ngewe mama.”

“Bima!”

“Sejak lama bima ingin ngewe mama. Mama sangat seksi.”

“Bima! Ini sungguh tidak pantas. Aku ibumu nak. Mama tak mau melakukan ini lagi. Lepaskan mama nak.”

Dia buka paksa jariku, hingga kontolnya tergenggam, ia kocok tanganku hingga kontolnya terkocok. Tangannya yang lain memegang pinggulku dan menariknya hingga. Kucoba menghidar tapi kalah kuat. Lalu ia memajukan mulutnya, menciumku. Ini terlalu dekat dan salah. Sesaat, aku kehilangan kontrol. Ciumannya tak seperti ciuman yuni yang hangat, pelan. Tapi ciumannya ganas. Lidahnya menjilati lidahku. Bibirnya makin liar. Aku tak bisa melawan. Kucium juga dia. Ya, aku mencium anakku. Anakku! Kenyataan ini menghentikanku. Dengan bangga kukatakan kugigit lidahnya.

“Oh, sial.”

“Jangan pernah lakukan itu lagi!”

“Lalu? Mama bisa menyepongku tapi bima tak bisa mencium mama?”

“Ada apa denganmu? Aku mamamu! Lepaskan mama sekarang juga!”

“Sini.”

Bima membawaku ke ranjangnya.

“Tidak. Apa kamu mau mama hukum?”

Kutarik tanganku. Bima mendorongku hingga terduduk di dekat ranjangnya. Ternyata posisiku menguntungkannya. Mataku sejajar dengan kontolnya yang makin mengeras. Tangannya melepaskan tanganku lalu memegang kepalaku. Tangan satunya memegang kontolnya dan mengarahkannya. Kucoba menggeliat menghindari kontolnya.

“Tidak! Takkan mama hisap lagi.”

Tercium bau kontolnya, penuh keringat setelah dia basket seharian.

“Buka mulutnya mah, bima tahu mama menyukainya.”

Dia tekan kontolnya ke bibirku. Kugelengkan kepala mencoba menghindar. Kutatap matanya.

“Bima, tolonglah. Aku ibumu nak. Mama merasa dipermalukan. Jangan paksa mama.”

Dia menyeringai.

“Akui mama suka menyepong kontolku.”

“Mama tak menyukainya.”

“Akui atau kupaksa sampai ke tenggorokan mama.”

“Bima, mama perempuan. Menyukai dan menginginkan adalah hal yang berbeda. Baiklah, mama memang suka menyepong ******, tapi aku ibumu, jadi mama tak menginginkannya. Tolong jangan paksa mama lagi nak!”

“Bima ingin keluar. Seharusnya mama bawa bima ke rs jika mama tak mau menolong bima.”

“Mama tahu mama salah. Tapi mama tak mau melakukan ini lagi.”

“Buka mulutnya mah.”

“Bima”

“Buka”

Kugelengkan kepalaku.

“Buka. Atau… atau…. Bima entot mama.”

Aku terkejut.

“Kau takkan bisa…”

“Coba saja mah, tantang bima.”

Bibir bawahku bergetar, lalu kubuka mulutku. Helm kontolnya langsung masuk diantara gigiku. Kulebarkan lagi rahangku. Anakku terus menusukan kontolnya hingga mentok di tenggorokanku. Aku tersumpal, kucoba mendorongnya agar bisa bernafas. Kontolnya ditariknya, basah oleh liurku. Kuhirup nafas dan ia masukkan lagi kontolnya.

Gerakan kontolnya mulai pelan. Ia mulai menukkan kontolnya hingga mentok. Aku terus muntah. Air mata jatuh tak tertahankan. Aku sudah tahu berapa lama sampai ia keluar. Aku takkan pernah bisa bertahan. Kupegang kontolnya mencoba mencabutnya dari mulutku agar aku bisa bernafas. Air liurku menetes.

“Tunggu. Mama gak tahan. Pelan – pelan nak.”

“Ayolah. Bima pingin lagi.”

Kontolnya mulai menekan mulutku lagi.

“Biar mama kocok agar bisa bernafas.”

“Oke. Lakukan mah.”

Ia angkat kedua tanganku dan mendaratkannya di kontolnya. Aku mulai mengocok sambil bernafas dalam – dalam. Rahang dan tenggorokanku sakit tapi memekku mulai basah. Aku terangsang. Aku sungguh ingin memainkan klitorisku sambil memainkan kontolnya, tapi jika kulakukan, mungkin dia pikir aku ingin diewenya. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi.

“Enak?”

“Tak seenak mulut mama.”

“Bima, kamu tak boleh kasar sama mama. Mama bukanlah lubang tempat kontolmu.”

“Bima gak tahan kalau terangsang. Rasanya bima jadi gila.”

“Mama tahu memang sulit nak. Tapi kamu mesti hormati mamamu, dan saat mama bilang tidak, ya tidak.”

“Kenapa mama mesti bilang tidak?”

Kontolnya mulai mendekati mulutku lagi. Aku tau keinginannya, tapi aku tak siap. Namun, kucium helmnya dan kujilat.

“Sebab mama mencintaimu, dan kita tidak boleh begini.”

Ia mengerang saat kujilat kontolnya. Kumainkan lidahku di batangnya, helmnya. Terhirup bau tubuhnya. Kucium pangkal batangnya. Dia benar – benar mesti mandi. Kucium testisnya, ternyata lebih bau. Kubuka mulutku agar testisnya masuk. Erangannya makin menjadi saat kukocok kontolnya dan kuhisap testisnya.

“Enak mah. Bima hampir keluar. Hisap lagi mah.”

“Bima, rahang mama sakit.”

“Ayolah mah, hisap lagi. Takkan bima tekan hingga mentok.”

AKu takut ia akan memaksa kalau aku menolak.

“Baiklah. Tapi mama ingin kamu hormati mama.”

“Oke mah.”

Kepalaku dipegangnya. Kupegang batangnya agar bisa kukontrol hingga tak mentok. Kumasukan helmnya saja, kumainkan lidahku. Kuhisap dan kugerakan mulutku. Dia mengerang.

“Nikmat. Bima keluar mah… oh… oh…”

Kusiapkan mulutku hingga saat spermanya muntah, kutelan sebanyak mungkin. Tapi tetap saja, mulutku tak cukup menampung. Spermanya keluar dan memenuhi bibir dan daguku. Helmnya tetap di mulutku sementara batangnya kupijat agar tak ada sperma yang tertinggal.

“Selesai?”

Kukeluarkan kontolnya. Kujilat bibirku agar bersih.

“Ya. Makasih mah.”

Aku berdiri, kutatap anakku.

“Sama – sama. Lain kali bima mesti bisa mengontrolnya. Bima tak boleh maksa mama melakukan hal yang tak mama inginkan. Mengerti?”

Ia mengangguk. Seperti kalau ia berbuat salah.

“Dan mama ingin kamu cari pacar. Agar bisa membantu kebutuhan seksualmu. Karena itu bukan tugas mama, oke?”

“Bima tahu mah.”

“Oke. Bima masih mama hukum.”

Bima tetap di kamarnya semalaman. Kuharap ia menyadari betapa salah kelakuannya, memaksaku menghisap kontolnya sepertii itu, mengancam mengeweku. Kuharap dia hanya menggertak, tapi perasaanku mengatakan ia tak menggertak. Aku harus berbicara dan meluruskannya. Semuanya mulai kacau. Kurasa lebih baik kuberitahu yuni semuanya. Mungkin aku tak sepintar dia.

Kuberbaring jam 11an. kunikmati gosokan tanganku di memekku yang kelaparan memikirkan ****** anakku. Ya, memang salah, tapi aku tak bisa menyingkirkan pikiranku. Tapi aku tak salah. Dia yang memaksaku. Aku hanya bisa menjadi ibu yang baik dan melayaninya, meski ia bilang ingin mengentotku. Aku bangga pada diriku, kubayangkan ****** anakku saat kumainkan memeku, aku berhak menikmatinya.

Aku pulang dalam keadaan senang, percaya diri, tapi bima tak ada dirumah. Bima datang sekitar jam 6 memakai baju basket, terlihat berkeringat dan kotor. Rambutnya basah. Kubayangkan beginilah dia ketika selesai ngewe wanita dengan kontolnya. Sial, aku berdiri di depannya. Marah.

“Ke mana saja jam segini baru pulang?”

“Huh? Habis main basket mah.”

“Apa kau lupa? Kau lagi mama hukum.”

“Mama serius?”

“Tentu saja. Vacuum mama malah kau rusakkan.”

Anakku menyeringai padaku.

“Aku juga menyakiti tenggorokan mama, apakah akan dihukum juga?”

“Dasar nakal. Pergi ke kamarmu!”

“BIma hanya bercanda mah. Santai saja.”

“Tidak, itu bukan bahan candaan.”

“Terserah”

Aku terkejut. Kukira menghisap ****** anakku bakal membuatku lebih dihormati. Ternyata tidak. Setidaknya sekarang aku tahu, seks tidak bisa merubah sifat orang.

Kuikuti bima, kuketuk pintunya.

“Bima. Kamu harus minta maaf sama mama.”

Bima membuka pintunya…telanjang. Ya, aku telah melihatnya telanjang, tapi aku tak mengharapkannya lagi.

“Kenapa tak dibaju?”

“Bima mau mandi mah. Baiklah maafkan bima mah.”

Kukepal tanganku mencoba mengalihkan mataku dari kontolnya. Sungguh besar, menggantung di antara pahanya.

“Mama ingin kamu serius.”

“Baiklah. Bima minta maaf atas kata – kata bima barusan. Bima hanya bercanda. Bima kira mama takkan menanggapi serius.”

“Tentu saja. Mama tak bangga melakukan itu dan bima memaksa mama. Mama hanya mencoba menolong dan tak ingin dijadikan bahan candaan. Kamu harus menghormati mama.”

“Bima memang menghormati mama. Maaf bima maksa mama hisap ****** bima. Bima kira mama menginginkannya.”

“Mengapa kau berpikir begitu?”

Aku masih pura – pura marah padanya. Kuusahakan agar mataku tak menatap kontolnya. Memekku tahu itu. Otakku mengirim sinyal hingga memekku basah.

“Kelihatannya mama menikmati mengocok ****** bima, dan mama terus menatap ****** bima, dan hisapan mama. Jadi kukira mama mengingkannya.”

“Mama kasih tahu, mama tak ingin.”

“Benarkah? Karena saat mama menghisap kontolku, kurasa mama menginginkannya.”

“Mama hanya berusaha agar kamu cepat kluar. Karena mama mahir bukan berarti mama menyukainya.”

“Uh huh. Bima mau minta mama menghisap ****** bima lagi sehabis mandi.”

“Apa kamu gila? Mama sudah bilang hanya sekali dan takkan terulang.”

“Nah, bima rasa tidak. Bima rasa mama menginginkannya.”

Bima mendekat, meraih tanganku dan membawanya ke kontolnya. Kucoba menarik tanganku tapi pegangannya kuat.

“Bima, lepaskan mama.”

“Jangan melawan.”

Tanganku ditekannya. Menempelnya tanganku membuat kontolnya semakin membesar.

“Hentikan. Mama takkan melakukan ini lagi. Ini salah. Mama ibumu demi tuhan.”

“Mah, bima mau bilang sesuatu. Bima ingin ngewe mama.”

“Bima!”

“Sejak lama bima ingin ngewe mama. Mama sangat seksi.”

“Bima! Ini sungguh tidak pantas. Aku ibumu nak. Mama tak mau melakukan ini lagi. Lepaskan mama nak.”

Dia buka paksa jariku, hingga kontolnya tergenggam, ia kocok tanganku hingga kontolnya terkocok. Tangannya yang lain memegang pinggulku dan menariknya hingga. Kucoba menghidar tapi kalah kuat. Lalu ia memajukan mulutnya, menciumku. Ini terlalu dekat dan salah. Sesaat, aku kehilangan kontrol. Ciumannya tak seperti ciuman yuni yang hangat, pelan. Tapi ciumannya ganas. Lidahnya menjilati lidahku. Bibirnya makin liar. Aku tak bisa melawan. Kucium juga dia. Ya, aku mencium anakku. Anakku! Kenyataan ini menghentikanku. Dengan bangga kukatakan kugigit lidahnya.

“Oh, sial.”

“Jangan pernah lakukan itu lagi!”

“Lalu? Mama bisa menyepongku tapi bima tak bisa mencium mama?”

“Ada apa denganmu? Aku mamamu! Lepaskan mama sekarang juga!”

“Sini.”

Bima membawaku ke ranjangnya.

“Tidak. Apa kamu mau mama hukum?”

Kutarik tanganku. Bima mendorongku hingga terduduk di dekat ranjangnya. Ternyata posisiku menguntungkannya. Mataku sejajar dengan kontolnya yang makin mengeras. Tangannya melepaskan tanganku lalu memegang kepalaku. Tangan satunya memegang kontolnya dan mengarahkannya. Kucoba menggeliat menghindari kontolnya.

“Tidak! Takkan mama hisap lagi.”

Tercium bau kontolnya, penuh keringat setelah dia basket seharian.

“Buka mulutnya mah, bima tahu mama menyukainya.”

Dia tekan kontolnya ke bibirku. Kugelengkan kepala mencoba menghindar. Kutatap matanya.

“Bima, tolonglah. Aku ibumu nak. Mama merasa dipermalukan. Jangan paksa mama.”

Dia menyeringai.

“Akui mama suka menyepong kontolku.”

“Mama tak menyukainya.”

“Akui atau kupaksa sampai ke tenggorokan mama.”

“Bima, mama perempuan. Menyukai dan menginginkan adalah hal yang berbeda. Baiklah, mama memang suka menyepong ******, tapi aku ibumu, jadi mama tak menginginkannya. Tolong jangan paksa mama lagi nak!”

“Bima ingin keluar. Seharusnya mama bawa bima ke rs jika mama tak mau menolong bima.”

“Mama tahu mama salah. Tapi mama tak mau melakukan ini lagi.”

“Buka mulutnya mah.”

“Bima”

“Buka”

Kugelengkan kepalaku.

“Buka. Atau… atau…. Bima entot mama.”

Aku terkejut.

“Kau takkan bisa…”

“Coba saja mah, tantang bima.”

Bibir bawahku bergetar, lalu kubuka mulutku. Helm kontolnya langsung masuk diantara gigiku. Kulebarkan lagi rahangku. Anakku terus menusukan kontolnya hingga mentok di tenggorokanku. Aku tersumpal, kucoba mendorongnya agar bisa bernafas. Kontolnya ditariknya, basah oleh liurku. Kuhirup nafas dan ia masukkan lagi kontolnya.

Gerakan kontolnya mulai pelan. Ia mulai menukkan kontolnya hingga mentok. Aku terus muntah. Air mata jatuh tak tertahankan. Aku sudah tahu berapa lama sampai ia keluar. Aku takkan pernah bisa bertahan. Kupegang kontolnya mencoba mencabutnya dari mulutku agar aku bisa bernafas. Air liurku menetes.

“Tunggu. Mama gak tahan. Pelan – pelan nak.”

“Ayolah. Bima pingin lagi.”

Kontolnya mulai menekan mulutku lagi.

“Biar mama kocok agar bisa bernafas.”

“Oke. Lakukan mah.”

Ia angkat kedua tanganku dan mendaratkannya di kontolnya. Aku mulai mengocok sambil bernafas dalam – dalam. Rahang dan tenggorokanku sakit tapi memekku mulai basah. Aku terangsang. Aku sungguh ingin memainkan klitorisku sambil memainkan kontolnya, tapi jika kulakukan, mungkin dia pikir aku ingin diewenya. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi.

“Enak?”

“Tak seenak mulut mama.”

“Bima, kamu tak boleh kasar sama mama. Mama bukanlah lubang tempat kontolmu.”

“Bima gak tahan kalau terangsang. Rasanya bima jadi gila.”

“Mama tahu memang sulit nak. Tapi kamu mesti hormati mamamu, dan saat mama bilang tidak, ya tidak.”

“Kenapa mama mesti bilang tidak?”

Kontolnya mulai mendekati mulutku lagi. Aku tau keinginannya, tapi aku tak siap. Namun, kucium helmnya dan kujilat.

“Sebab mama mencintaimu, dan kita tidak boleh begini.”

Ia mengerang saat kujilat kontolnya. Kumainkan lidahku di batangnya, helmnya. Terhirup bau tubuhnya. Kucium pangkal batangnya. Dia benar – benar mesti mandi. Kucium testisnya, ternyata lebih bau. Kubuka mulutku agar testisnya masuk. Erangannya makin menjadi saat kukocok kontolnya dan kuhisap testisnya.

“Enak mah. Bima hampir keluar. Hisap lagi mah.”

“Bima, rahang mama sakit.”

“Ayolah mah, hisap lagi. Takkan bima tekan hingga mentok.”

AKu takut ia akan memaksa kalau aku menolak.

“Baiklah. Tapi mama ingin kamu hormati mama.”

“Oke mah.”

Kepalaku dipegangnya. Kupegang batangnya agar bisa kukontrol hingga tak mentok. Kumasukan helmnya saja, kumainkan lidahku. Kuhisap dan kugerakan mulutku. Dia mengerang.

“Nikmat. Bima keluar mah… oh… oh…”

Kusiapkan mulutku hingga saat spermanya muntah, kutelan sebanyak mungkin. Tapi tetap saja, mulutku tak cukup menampung. Spermanya keluar dan memenuhi bibir dan daguku. Helmnya tetap di mulutku sementara batangnya kupijat agar tak ada sperma yang tertinggal.

“Selesai?”

Kukeluarkan kontolnya. Kujilat bibirku agar bersih.

“Ya. Makasih mah.”

Aku berdiri, kutatap anakku.

“Sama – sama. Lain kali bima mesti bisa mengontrolnya. Bima tak boleh maksa mama melakukan hal yang tak mama inginkan. Mengerti?”

Ia mengangguk. Seperti kalau ia berbuat salah.

“Dan mama ingin kamu cari pacar. Agar bisa membantu kebutuhan seksualmu. Karena itu bukan tugas mama, oke?”

“Bima tahu mah.”

“Oke. Bima masih mama hukum.”

Bima tetap di kamarnya semalaman. Kuharap ia menyadari betapa salah kelakuannya, memaksaku menghisap kontolnya sepertii itu, mengancam mengeweku. Kuharap dia hanya menggertak, tapi perasaanku mengatakan ia tak menggertak. Aku harus berbicara dan meluruskannya. Semuanya mulai kacau. Kurasa lebih baik kuberitahu yuni semuanya. Mungkin aku tak sepintar dia.

Kuberbaring jam 11an. kunikmati gosokan tanganku di memekku yang kelaparan memikirkan ****** anakku. Ya, memang salah, tapi aku tak bisa menyingkirkan pikiranku. Tapi aku tak salah. Dia yang memaksaku. Aku hanya bisa menjadi ibu yang baik dan melayaninya, meski ia bilang ingin mengentotku. Aku bangga pada diriku, kubayangkan ****** anakku saat kumainkan memeku, aku berhak menikmatinya.
Bima memaksa ibunya (2)
Paginya aku merasa malu, bukan saja karena apa yang telah kulakukan, tapi juga karena telah menyentuh anakku sedemikian rupa, dan yang terburuk, sangat menyukainya. Seharusnya kubawa bima ke rs. Sekarang aku bahkan malu menatapnya. Aku bereaksi seolah kejadian semalam tak pernah terjadi. Kuketuk kamar anakku.

“Bima. Kau sudah bangun nak?”

“Iya ma. Bima sudah bangun.”

“Baiklah, mama telat nih. Kamu mandi ya, mama buat sarapan dulu.”

Aku hanya menggoreng telur dan menyiapkan nasi untuk sarapan. Aku ingin cepat pergi agar tak perlu melihat anakku. Saat aku berbalik, bima telah ada di dapur. Aku terkejut.

“Oh, bima, mengejutkan mama saja. Mana pakaianmu?”

Bima hanya memakai handuk. Jelas tercetak di selangkangan ****** indahnya yang telah agak mengeras. Kucoba mengalihkan pandangan sebelum anakku menyadari apa yang kutatap.

“Mah, bima pingin bicara sebentar.”

Ia ingin bicara? Apakah ia ingin bilang betapa malu dan jijiknya dia padaku hingga akhirnya ingin pindah. Oh, apa yang telah kulakukan? Aku ingin lari, dan aku akan lari. Tapi ada lemari di kiriku dan ada meja makan di kananku.

“Mama udah terlambat nih.”

“Ini hanya, pas tadi bima bangun, bima masturbasi, tapi tak bisa keluar.”

“Um…oh.”

“Bima pikir, apa mama bisa membantu bima lagi.”

Aku menelan ludah. Bukan ini yang kuharapkan. Tentu saja aku tak bisa membantunya. Yang kulakukan semalam saja sudah salah. Tak mau aku mengulanginya. Harus kuhentikan sejak awal.

“Sayang, yang mama lakukan semalam adalah satu hal. Mama tak bisa mengulanginya lagi.”

“Tapi rasanya enak dan —“

“Dengar sayang, jika memang sakit, mama bawa ke rs, tapi yang semalam takkan terjadi lagi.”

“Tapi kan mama tak punya uang.

“Mama tahu, tapi kalau kau terus sakit, apa boleh buat. Hanya saja, yang mama lakukan tidaklah pantas. Ngerti kan?”

“Ya, tapi kan telah terjadi ma. Jika mama tak mau, semalam tentu takkan terjadi. Kenapa kita tak bisa mengulanginya?”

Anakku mulai merengek seperti saat dia masih kecil.

“Maafkan mama sayang, mama tak nyaman melakukannya. Sekarang, mama kerja dulu.”

Ia mundur, kukira akan pergi. Ternyata mengambil kursi dari meja dan mendudukannya.

“Duduk dulu sebentar ma.”

“Bima, mama telat nih.”

“Sebentar saja ma.”

Aku mengeluh tapi duduk juga. Aku tak ingin ngobrol lagi dengan anakku. Tapi lalu kusadari bukan ngobrol yang anakku inginkan. Dia buka handuknya dan kontolnya yang panjang memenuhi mataku.

“Bima, ngapain kamu?”

Aku melotot, menatap matanya tapi memekku mulai berdenyut.

“Tolong bima mah, bima tak bisa fokus di sekolah jika belum keluar. Coma mama pikir nilai raport bima.”

“Bima, mama memang baik. Tapi jangan pikir sekarang mama mau membantumu lagi.”

“Lima menit sajalah mah.”

Sambil berkata, bima mengambil tanganku dan meletakannya di kontolnya. Ujung jariku menyentuh ****** indahnya sesaat sebelum kutarik tanganku.

“Tidak bima. Mama udah bilang. Sekali hanya semalam saja. Mama tak punya waktu.”

Kucoba berdiri tapi bima menekan bahuku. Kontolnya tepat didepan wajahku, hanya dua sentimeter dari bibirku. Kutatap wajahnya sambil menunjukan kemarahan.

“Bima, lepaskan tanganmu.”

“Lima menit saja mah. Bima janji.”

“Mama sudah telat.”

“Cuma lima menit mah. Tolonglah bima.”

Ia ambil lagi tanganku, mendaratkannnya di kontolnya dan dicengkram tanganku. Bima mengocok tangan kami. Kuambil nafas dalam – dalam dan kusingkirkan tangannya. Kupaskan peganganku pada batang itu sebisanya. Sungguh tebal.

“Baiklah, ini yang terakhir.”

“Oke.”

Bima menunduk menatapku dan tersenyum. Kupelototi dia agar tahu bahwa aku marah. Tapi tuhan, betapa aku menyukai memegang kontolnya yang semakin mengeras. Lalu kontolnya tepat mengarah ke bibirku. Kumundurkan kepalaku agar tak terlalu dekat. Air liurku rasanya mengalir. Kuharap ada lotion agar tak tergoda.

“Mau memakai lotion?”

“Gak perlu mah. Gini juga enak kok.”

“Oke. Tapi jangan keluar ke wajah mama.”

Sekarang kontolnya benar – benar keras dan tanganku rasanya penuh saat kukocok batang itu. Tanganku yang lain memainkan bolanya karena semalam bolanya luput dari tanganku. Bolanya memenuhi tanganku, kulitnya yang kendor kuraba dan kuremas hingga bima mengerang. Lalu tangannya meraba rambutku, membelai pipiku. Terasa lebih lembut dibanding sebelumnya. Bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali diciumnya.

“Mama sangat seksi.”

“Permisi.”

Kuangkat wajahku dan kutatap anakku, sedang tanganku tetap bekerja.

“Seksi? Seperti, cantik?”

“Ya. Ingat gak saat bima kecil bima ingin mama jadi pacar bima?”

Nafas anakku makin berat. Aku tersenyum.

“Ya. Bahkan kamu beri mama kartu ucapan cinta.”

“Aku menyukai mama.”

“Bima, dulu kamu masih kecil. Semua anak kecil menyukai mamanya.”

“Apakah mereka juga mencuri dan masturbasi memakai cd mamanya?”

Kuhentikan kocokanku.

“Kau melakukan itu?”

“Jangan berhenti.”

Pegal. Kuganti tanganku.

“Kamu tak boleh begitu nak.”

“Aku suka baunya.”

“Yah, setidaknya sekarang kau tak mengambilnya lagi.”

Tapi lalu kulirik anakku. Cd ku selalu hilang saat dicuci. Beberapa hari kemudian ada lagi. Aku tak pernah tahu mengapa.

“Kau sudah tak melakukan itu, iya kan?”

Anakku hanya menyeringai dan membelai pipiku dengan jempolnya. Memikirkan betapa dia mencuri cd ku dan memakainya untuk masturbasi berarti dia tertarik padaku secara seksua dan mungkin sekarang aku sedang melakukan apa yang sering anakku khayalkan. Tentu saja aku tahu cerita Oedipus complex, tapi tak pernah kukira anakku akan tertarik padaku dan aku sedikit marah dibuatnya. Ini tak normal. Kupikir aku harus memarahinya atau apalah. Tetapi, aku malah terus mengocok kontolnya sambil mendengar erangannya.

“Gimana rasanya?”

“Enak mah.”

Tangannya turun dari pipiku. Dia bahkan tanpa ragu memasukan tangannya ke dalam blusku.

“Tunggu sebentar nak.”

Aku menggeliat tapi lalu kurasakan jarinya di pentilku, seperti semalam, tangannya memegang susuku.

“Biarkan bima memainkannya mah, biar membantu.”

Kuambil nafas saat anakku memainkan pentil dan susuku. Aku ingin disentuh layaknya wanita. Rasanya sudah sangat lama. Aku tak ingin yang lain kecuali membuka pakaianku dan membiarkan anakku menikmatinya, tapi aku bersumpah pada diriku sendiri aku takkan membiakan itu terjadi. Aku hanya bisa mengkhayalknannya.

Sekarang sudah lima menit, tapi kuakui aku tak ingin berhenti. Cd ku sudah basah tapi takkan ada waktu memainkan klitorisku nanti. Yang bisa kulakukan hanya menunggu malam tiba sambil bekerja. Sialan, aku butuh seks. Dan sekarang, anakku di sini bilang betapa seksinya aku, apakah ia tertarik padaku? Dan aku, kunikmati sensasi mengocok kontolnya. Aku harus berhenti tapi tak bisa. Aku ingin melihatnya keluar lagi. Ingin merasakannya, dan lebih dari itu, aku ingin membuatnya bahaia, membuatnya mencintaiku. Semua ibu pasti begitu. Tentu kebanyakan ibu takkan berbagi cinta dengan cara begini. Tidak. Aku harus jadi ibu yang bertanggungjawab dan tak berhubungan seksual dengan anakku. Aku benar – benar harus pergi. Kuhentikan kocokan dan kulepas tanganku.

“Oke sayang, bisa lanjutkan sendirian kan?”

Anakku menatapku.

“Kenapa? Mama berhenti?”

“Mama mesti kerja.”

“Ayolah mah, beberapa menit lagi. Bima mohon.”

Ia keluarkan tangannya dari bajuku dan sekali lagi memegang tanganku tapi kusingkirkan.

“Sayang, mama tak bisa. Mama mesti kerja.”

Tapi aku ingin tinggal dan mengocok batangnya.

“Tapi bima ingin keluar.”

Anakku membelai rambutku. Jarinya mengelus belakang kepalaku.

“Mama tak bisa menunggu. “

Kutatap wajahnya, mencoba tak melihat ****** di depan wajahku.

“Tapi bima hampir sampe mah. Bima bisa langsung keluar jika mama menghisapnya..”

Mataku melotot. Ya, aku pernah menghayal menghisapnya sejak pertama kulihat, tapi saat anakku mulai ingin berpartisipasi dalam khalayan terlarangku, sudah terlalu jauh. Aku marah padanya. Anak macam apa yang mamanya begitu?

“Bima, aku mamau!”

“Bima tahu, tapi bima sangat terangsang. ****** bima sangat keras.”

“Jangan gunakan kata itu. Ngocok ini saja sudah terlalu jauh. Mama tak bisa menghisap kontolmu juga. Itu salah.”

“Ayolah mah, semenit saja.”

Lalu dengan tangannya dibelakang kepalaku, ia rekatkan jari – jarinya, menahan kepalaku saat kontolnya makin mendekat. Aku terkesiap saat ujung kontolnya menyentuh bbibirku.

“Bima! Hentikan!”

Aku berkata sambil memundurkan kepalaku. Ia dorong lagi kepalaku hingga aku terkejap. Tangannya yang lain memegang kontolnya dan mengarahkannya ke mulutku.

“Buka mulut mama. Ayolah, hisap ma.”

Anakku menampar wajahku dengan kontolnya, tapi kugerakkan kepalaku mencoba menjauh, saat kucoba mendorong tubuhnya dengan tanganku, tenagaku kalah besar. Kontolnya menekan bibirku hingga membukanya tapi gigiku tetap menyatu.

“Hentikan!” aku berkata lewat gigiku, menatap marah padanya. “Pergi!”

“Hisap semenit saja.” Kontolnya ditekan ke pipi dan hidungku. “Lalu aku pergi.”

“Tidak!”

Aku marah, tapi setiap bernafas selalu tercium wangi kontolnya, wangi seorang pria, oh tuhan, aku tergoda membuka mulutku dan membiarkannya masuk. Jika saja ia bukan anakku, aku takkan melawan.

“Hentikan!”

“Buka mulut mama!”

Kontolnya ditekan – tekan ke seluruh wajahku. Bibirku ditampar – tampar kontolnya.

“Buka!”

“Tidak. Akan mama gigit.!”

Kontolnya mulai ditekan ke gigiku. Mencoba masuk.

“Bagus. Buka dan gigit ini.”

“Kan mama gigit.”

“Gigit mah, buka dan gigitlah.”

Tuhan tolong aku, kupikir dia tahu betapa aku menginginkannya. Tapi aku takkan menyerah tanpa perlawanan! Kubuka mulutku dan kutekan helm kontolnya dengan gigikku. Dia tersentak lalu mencoba menekan kontolnya ke mulutku. Lalu kututup gigiku menjepit helmnya.

“Oh sial!”

Anakku mencabut kontolnya.

“Udah mama ingatkan. Akan mama hokum kamu!”

Bima terlihat marah. Ia jamak rambutku dan membetot kepalaku. Aku menyalak, mulutku membuka. Ia langsung masukkan kontolnya dan kututup mulutku hingga kontolnya tergigit. Tapi lidahku tak seperti gigiku. Kuyakinkan diri bahwa lidahku tak sengaja menyentuh lubang kontolnya hingga dapat kurasakan cairan pelumasnya. Bima tarik kembali kontolnya, helmnya tergores gigiku.

“Ow, mah. Sakit.”

“Lain kali kau coba masukan kontolmu ke mulut mama, kau akan kehilangannya.”

“Yeah?”

“Mmmhmmm, mama tak menggertak.”

“Buktikan mah, buka mulut mama.”

Aku tahu dia hanya ingin kontolnya kembali masuk mulutku, dan aku hanya ingin kontolnya kembali masuk. Rahangku membuka dan ia melangkah maju. Mulutku mesti kulebarkan sesuai ukurannya, tapi kututup gigiku saat kontolnya menyetuh tenggorokanku. Kutekan kontolnya agar ia tahu aku memilikinya.

“Oh tuhan… mama takan menggigitnya kan?”

“Jangan bersumpah”

Kuragukan ia mendengar ucapanku saat kontolnya di mulutku, tap dia mengerang karena gerakan lidahku di bawah batangnya. Kuberikan kontolnya beberapa jilatan karena mulutku penuh. Lalu kupegang batangnya dengan tanganku agar bisa kukontrol. Kubuka mulutku dan kukeluarkan kontolnya, kucium helmnya agar ia tahu aku tak marah.

“Dasar kamu anak nakal.”

“Bima putus asa mah, bima sangat pingin keluar.”

Kuangkat alisku, tapi haruskah kubiarkan anakku menderita?

“Enampuluh detik. Lebih dari itu kamu urus sendir. Dan hanya sekali ini saja. Mama takkan mengulanginya. Dan jangan pernah lagi mendorong kontolmu ke mulut mama. Setuju?”

“Setuju.”

Kubuka rahangku dan maju. Bibirku menyentuh helmnya dan terus hingga batangnya. Kurasakan rahangku mencoba beradaptasi. Sepertinya akan kunikmati ini sampai sore hari. Dan anaku ingin lebih, dia mulai menekannya hingga tenggorokanku.

Aku membungkuk ke depan dan meluruskan leherku. Lalu kubiarkan kontolnya melewati tenggorokanku. Anakku mengerang keras hingga kukira akan orgasme, tapi ternyata tidak. Ini lebih dari yang kubayangkan. Aku batuk dan kutarik kontolnya, tapi bima memasukannya lagi.

Kuraih batangnya, mencoba menekan kontolnya agar tak sampi tenggorokanku. Lalu kumulai menjilati batangnya. Bima sudah tak sabar. Dia pegang rambutku dan menekan kepalaku dalam – dalam hingga kontolnya menekan tenggorokanku lagu, membuatku muntah. Aku tak pernah sejauh ini sebelumnya. Kucabut kontolnya dan kembali muntah.

“Jangan menusukan dalam – dalam hingga tenggorokan mama. Kontolmu terlalu panjang. Tenggorokan mama bisa robek. Biarkan mama yang melakukan.”

“Maaf mah.”

Tapi ia meraih kembali kepalaku dan mendorongnya lagi hingga menyentuh tenggorokanku. Hanya setengah kontolnya yang masuk mulutku. Lidahku tetap menyapu batangnya sementara tanganku memompa batangnya yang tak masuk. Rahangku sakit. Sebelumnya tak pernah kudapati ****** sebesar ini dan tenggorokanku sakit sekali. Belum juga semenit tapi aku sudah butuh istirahat.

Butuh lebih dari semenit agar anakku orgasme, tapi sebagai ibu yang baik, aku tetap menghisap kontolnya meskipun rahangku sakit. Saat akhirnya anakku orgasme, aku tak bisa menahannya di tenggorokanku. Kutarik tapi kubiarkan kepala kontolnya tetap di mulutku. Tetap saja, aku tak bisa menelan lebih cepat. Saat kucabut kontolnya agar bisa bernafas, kusadari spermanya juga mendarat di wajahku.

“Oh.”

Lantas kembali kumasukan kepala kontolnya agar setiap tetesnya kunikmati. Kuteguk sebisanya. Erangan bima makin melemah seiring hisapanku pada kontolnya yang mulai mengempis. Akhirnya kutarik mulutku.

“Sudah lebih baik?”

“Ya, mama ibu terbaik sedunia.”

“oh tuhan. Lihat jam. Mama sangat telat. Oh tuhan, oh tuhan.”

Kuambil handuk dan kubersihkan wajah ku dari sperma anakku. Blusku basah terkena tetesannya, tapi tak ada waktu menggantinya. Kuharap cepat kering. Kulempar handuk ke tempat cucian dan berlari ke pintu depan. Bima masih berdiri di dapur, kontolnya bergelayut di antar pahanya.

“Bima! Sekolah!”

“Siap mah.”

Aku terlambat kerja. Atasanku tentu saja tak senang. Kupakai celemek, kubersihkan ruangan yang hampir kosong. Hingga akhirnya tak ada yang bisa kulakukan. Adiku sedang berdidi dekat meja.

“Maaf aku telat.”

“Tumben nih telat.”

“Iya nih yun.”

“Tadi bangun kesiangan.”

“Oh. Um…”

“Apa? Ada lipstik di gigi?”

“Oh tuhan”

“Huh?”

“Kau hisap ****** anakmu?”

“Apa? Tentu saja tidak!”

“Di rambutmu ada sperma.”

“Oh.”

“Toilet.”

Yuni mengikutiku ke toilet dan membuatku melihat kaca. Rasa malu membuat bahuku gontai. Ada banyak sperma di rambutku. Bahkan ada juga di bahuku. Yuni diam tak bicara. Ia hanya mengambil tisu dan membersihkanku. Aku sepertinya meangis.

“Aku mengacau. Kuhisap kontolnya. Sungguh memalukan.”

“Jangan sedih. Ini bukan pertama kali kau incest.”

“Kau tak termasuk hitungan. Lagian dia anakku.”

“Gimana caranya?”

“Dia memaksaku. Dia tekan kontolnya ke mulutku. Bahkan kugigit tapi dia terus menekan lebih dalam dan membuatku menghisapnya.”

“Benarkah? Kenapa tak gigit lebih keras?”

“Aku mencoba bertahan. Hanya saja sudah sangat lama dan aku juga terangsang.”

Yuni memijat bahuku.

“Jadi kau menyukainya?”

“Tubuhku menyukainya, tapi pikiranku tidak. Sekarang memekku basah, oh tuhan, aku hanya ingin seks. Aku sangat ingin orgasme.”

Yuni merangkulku. Kupeluk dia dan dia meremas rambutku. Lalu daguku diangkatnya dan aku diciumnya.

Aku tertawa. Sudah lama kami tak berciuman. Yuni selalu baik padaku, selalu ada saat aku ingin menangis. Kukira ia hanya menghiburku, tapi ternyata dia menciumku lagi, membuka mulutnya hingga lidahnya mencari lidahku. Aku mundur.

“Ngapain?”

“Kamu udah mengurus bima. Seseorang juga harus mengurusmu.”

Dia menciumku lagi. Tangannya memegang menuruni dadaku, menyusuri susuku yang kecil. Kunikmati elusannya, dia lebih lembut dibanding bima. Dia tau aku menyukainya. Lagian, kami sering memuaskan satu sama lain, tapi sudah lama sejak yang terakhir kali. Lalu kuhentikan aksinya.

“Tunggu, kita tak lagi remaja.”

“Tentu, bahkan kita sering ngentot ******. Sini, duduk di sini. Biar kunikmati memekmu.”

“Kita mesti kerja.”

“Biar yang lain dulu. Gakkan lama kok.”

“Gimana kalau ada yang masuk?”

“Tenang saja, restoran masih sepi.”

Yuni memegang pahaku dan membantuku duduk. Aku agak enggan melakukan ini, apalagi di toilet. Tapi memekku sangat basah dan ingin. Aku duduk dan bersandar ke cermin. Yuni memasukan tangannya ke rok ku dan membuka cd ku.

“Oh. Kau sangat basah.”

Aku mengangguk. Kugerakan pantatku karena dinginnya meja. Yuni membuka pahaku lebar – lebar. Memekku makin basah, klitorisku makin besar dan bibirku mengering.

“Oh.”

“Kau baik baik saja?”

Yuni bertanya sambil memainkan klitorisku denangan ujung jarinya.

“Sangat terangsang.”

Yuni memasukan jari tengahnya ke memekku dan mataku mengedip. Aku sangat menginginkannya.

“Oh tuhan, makasih.”

“Apa gunanya sodari?”

“Bukan untuk ini. Biasanya untuk menemani belanja baju.”

“Not for this,” I mumbled. “We usually just shop for clothes.”

“Kau boleh mengobralku.”

Lalu dia berlutut, mendekatkan mulutnya ke memeku. Lidah hangatnya menyapu kulit luar memekku, membuat tubuhku mengejang. Kuremas rambutnya dan kuarahkan kepalanya mendekati klitorisku. Yuni memasukan lidahnya sementara jarinya memainkan klitorisku. Kunikmati surga dunia. Sesaat, kumengerti kenapa bima menekan kontolnya ke mulutku. Ia butuh pelampiasan, seperti aku.

“Nikmatnya. Kenapa kita jarang melakukan ini lagi?”

Yuni mencabut lidahnya dari mulutku.

“Kau yang bilang seorang ibu harus bertanggungjawab. Dan menjilat memek tidaklah benar, apalagi meme sodarimu.”

“Maaf, kadang aku bodoh.”

“Dan kukira kaulah yang pintar.”

Kutatap adiku dan kutekan kembali kepalanya ke memekku. Lidahnya memainkan klitorisku lalu dihisapnya. Kucoba agar tak mengerang, tapi oh sungguh nikmat. Kupegang erat kepalanya saat jarinya ikut keluar masuk di memekku. Tak butuh waktu lama bagitu agar keluar. Aku berteriak penuh kenikmatan bersamaan dengan dibukanya pintu toilet oleh wanita berumur yang juga ikut teriak. Yuni menyeka dagunya.

“Mungkin saatnya kembali kerja.”


“Sudahkah kuberitahu kau sodari terbaik sedunia?”

“Aku sudah tahu.”

Setelah memberitahu bosku apa yang terjadi di toilet—‘adikku membantuku melepaskan tampon’— aku bekerja dengan senang hati. Penampilanku berubah setelah dilanda orgasme. Ya, aku telah mengocok dan menghisap ****** anakku, tapi itu insiden. Tak ada alasan kenapa aku harus merasa aneh. Dan semuanya atas kehendak anakku. Aku tak salah. Aku hanya seorang ibu yang baik.

Aku terbangun tengah malam karena bima mengejutkanku. Saat mataku terbuka kulihat kontolnya di hadapanku. Ia tak memakai celana.

“Tidak, bima, kembali ke kamarmu. Sekarang!”

“Bima ingin keluar mah.”

“Baru saja tadi kau keluar. Mama tak bisa terus begini.“

“Bima dengar mama mainkan memek mama setelah di kamar.”

Aku bangkit dan kunyalakan lampu.

“Apa yang mama lakukan di kamar mama sama sekali bukan urusanmu.”

“Ya, tapi mama juga terangsang kan.”

“Bima, mama juga punya kebutuhan. Tapi bukan berarti mama mau melakukan apa saja denganmu. Apa kamu dengar mama meminta bantuanmu?”

“Jika mama minta bantuan, bima akan datang.”

“Bima, cukup.”

“TIdak mah, bima serius. Gini saja ma, gimana kalau bima jilat memek mama dan mama hisap ****** bima. Kita bisa main 69.”

“Tuhan, tentu saja tidak. Kau, anak muda, takkan melihat milikku.”

“Kalau gitu, hisap kontolku.”

Tangannya mendekati kepalaku.

“Tidak. Mama takkan menghisapnya lagi. Mama sudah bilang. Tidak berarti tidak.”

Aku mundur menghidari tangannya.

“Tolonglah mah, bima butuh bantuan.”

Bima merajuk seperti biasa.

“Meski mama mau, mama tak bisa. Rahang mama sakit, tenggorkan mama juga sakit. Dan mama lelah, mama tak lagi muda. Umur mama udah 35. Mama tiap hari kerja. Tidurlah, dan mungkin jika bima baik, sabtu nanti mama akan kocok saat bima mau keluar. Hanya itu.”

“Bima tak bisa menunggu mah.”

Bima mulai menaiki ranjangku. aku menghindar.

“Tidak, bima.”

Anakku mulai mendekatiku, kontolnya makin mengeras tapi dibelakangku ternyata tembok.

“Bima, mama mohon.”

“Kocok saja mah.”

“Tidak. Ini salah, sudah mama bilang. Bima mesti masturbasi sendirian saja.”

“Sudah bima coba mah.”

“Gimana kalau mama kasih cd yang mama pakai? Bisa bima pake.”

Dia menatap kakiku dan cd putihku. Bajuku telah tak bisa menutupinya. Kacau, cd ku basah oleh cairanku.

“Baiklah mah.”

“Oke? Bagus nak. Sekarang kembali ke kamarmu, nanti mama berikan.”

“Tidak. Biarkan bima gesekkan ****** bima sekarang.”

“Mama takkan melepasnya dihadapanmu.”

“Mama tak perlu membukanya. Pake saja ma.”

AKu mengerti maksudnya. Aku tak menyukainya.

“Tidak bima, tidak boleh nak.”

“Dengar, bima mencoba berbuat baik. Bima hanya menggesekkannya saja ke cd mama, saat mama memakainya. Jadi mama tak perlu telanjang.”

“Memekku di sana nak, kau akan menggesek memek mama.”

“Ya, bima tahu mah. Ayolah, tolong bima.”

Dia memegang pinggangku. Aku tahu bima tak perlu jawaban. Aku berusaha menolaknya.

“Bima hentikan. Mama takkan melakukan ini. Ini salah.”

Saat aku terbaring, dia memegang pahaku, melebarkannya. Tuhan, dia sangat kuat. Pahaku terbuka, nampaklah selangkanganku yang tertutup cd. Tubuhku bereaksi lain, memekku makin basah memikirkan kontolnya menggesek cdku. Aku terus meronta, mencoba mendorongnya menjauh. Tapi saat kontolnya mendekati cd ku, aku tahu tak ada gunanya meronta.

“Oke, tunggu sebentar ma.”

Bima memegang kontolnya, mengarahkanny ke cd ku.

“Mama biarkan bima kali ini. Tapi jika bima membuka cd mama atau mencoba ngewe mama, mama takkan mengakuimu lagi sebagai anak mama.”

“Bima takkan melakukan itu. Biarkan saja bima menggeseknya.”

Ia tekan cd ku dengan kontolnya tepat di atas klitorisku. Membuat tubuhku bergetar nikmat, aku benci betapa aku menyukainya.

“Oh.”

“Tenang mah.”

Lalu kontolnya digosokan ke sepanjang memekku. Aku mendesah.

“Bima, mama mohon jangan ngewe mama, nak.”

“Bima tak bisa ngewe menembus cd mah, tenang saja.”

Kuambil nafas perlahan saat ia mulai lagi menggesekkan kontolnya hingga helmnya beradu menggesek klitorisku. Kutekan kepalaku ke bantal, kututup mataku dengan tanganku. Aku seperti menangis.

“Mama tak percaya membiarkanmu melakukan ini. Mama sungguh ibu yang buruk.”

“Mama justru ibu yang sempurna. Hanya ibu yang sempurna yang membiarkan anaknya melakukan ini.”

Kontolnya ditekankan pada liang memekku.

“Jangan begitu. Jangan coba menusukan kontolmu.”

“Tentu tidak mah.”

“Jangan menekannya seperti itu. Mama sungguh – sungguh.”

“Santai mah. Coba nikmati saja.”

Ia sapukan lagi kontolnya ke klitorisku, memfokuskannya. Oh tuhan, nikmat sekali. Aku tak ingin mengerang, tapi tak bisa menahannya. Memekku disentuh ******, dan aku menyukai rasanya. Aku bergumam.

“Oh tuhan.”

Ia rapatkan pahaku, hingga kontolnya tertekan ke memekku. Lalu ia mulai memompa pahaku di atas memeku. Ia pegang bajuku, menaikkannya dan membukanya hingga susuku yang kecil terlihat. Tangannya menyentuh susuku, jarinya memilin putingku. Aku bahkan tak bereaksi. Aku dijamahnya dan tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan, kontolnya yang keras terus menggesek klitorisku, meski tertutup cd, aku tahu dia akan membuatku keluar, dan aku akan berteriak, dan dia akan tahu betapa aku menyukainya. Jadi kututup mulut dengan tanganku, menggigit telapak tanganku agar tak bersuar. Dia tak boleh tahu betapa nikmatnya ini.

Lalu semua mulai kacau. Saat ia menarik kontolnya, helmnya selip ke dalam cd ku dan batangnya mulai masuk ke bawah cd. Kurasakan kontolnya menyentuh memekku. Langsung kupegang tangannya agar berhenti dan membuka pahaku.

“Berhenti. Hati – hati!”

Ia berhenti dan melihat ke bawah. Cdku condong ke pinggir. Bibir memekku terlihat . kontolnya ada di dalam cd ku. Kepalanya di luar cd sedang batangnya menempel pada memeku.

“Oke, berhenti dulu.”

Kulepaskan kontolnya dan kubetulkan cdku.

“Kita tak bisa melanjutkan.”

Ia mundur, mungkin akan berhenti. Ternyata ia pegang cdku, mengangkatnya dan kembali memajukan pinggulnya. Kontolnya mengenai memekku, kulit menyentuh kulit. Memekku makin basah dibuatnya. Aku terengah – engah.

“Jangan.”

Aku menunduk, menyelipkan tanganku antara kontolnya dan memekku. Tapi ia menekan kontolnya melewati jariku dan memekku. Kucoba menghentikannya tapi tak berguna.

“Hentikan bima. Tolong, kita tak boleh begini, tidak dengan anakku sendiri. Mama mohon. Hentikan.”

“Oke mah.”

Ia menghela. Lalu menarik kontolnya. Lalu ia memakaikan lagi cdku. Hingga memekku tertutupi cd lagi. Ia mengangkat tanganku yang menutupi selangkangannya.

“Lebih baik kan.”

Lalu ia majukan lagi kontolnya hingga menempel pada cdku. Ia pukul pukulkan helmnya. Kuperhatidan dia. Lalu dia mulai menekan kontolnya. Cd ku ikut tertarik bersama helm kontolnya. Kurasakan kain cd yang mulai menusuk. Kupegang bahunya.

“Bima.”

“Bima tak nimbus cd mama.”

Ia seperti mendorong hingga kontolnya tercetak oleh cdku. Helmnya mulai memasuki liang memekku.

“Bima. Kontolmu mulai masuk memek mama! Hentikan!”

“Tidak mah, hanya mendorong saja. “

Tapi cd ku sepertinya lebih banyak berada di memekku daripada menutupi memekku. Kupegang batang kontolnya.

“Hentikan bima. Mama tahu apa yang kamu lakukan. Kita tidak bisa!”

“Kita bisa mah. Mama tahu mama menginginkannya.”

Ia menatap mataku. Kontolnya menekan cdku saat ia dorong, tapi memekku malah membuka saat helm kontolnya masuk. Klitorisku berdenyut antara sakit dan nikmat. Sudah lama aku tak ngewe, hingga aku tak siap, apalagi kontolnya termasuk besar. Kurapatkan memekku agar kontolnya tak masuk lagi. Kutekan dadanya, tapi ternyata tak membantu sama sekali.

“Jangan bima, aku mamamu. Apakah itu tak berarti bagimu?”

“Yah. Artinya memek mama milik bima.”

Ia tekan lagi kontolnya dan sobeklah cdku. Aku menghela menahan nafas. Batangnya masuk tanpa ada penghalang. Kontolnya di dalam memekku. Kugigit bibirku. Kontolnya sungguh besar dan memekku sangat kecil. Bibir memekku meregang seiring kontolnya. Oh tuhan, betapa nikmatnya. Kututup mataku dan air mata jatuh di sudut mata. Ia tekan lebih dalam kontolnya. Membuatku merasakan sakit dan nikmat sekaligus. Aku meracau.”

“Oh…”

“Oh… yes.”

“Mama tak percaya kamu ewe mama.”

“Yeah. Kuewe mama.”

Ia tarik kontolnya, lalu menusukkannya kembali. Aku meringis.

“Oh tuhan, apa yang kau lakukan nak? Cabut! Ini salah nak.”

“Mama menyukainya kan.”

Ia memompa kontolnya lagi. Kakiku bergetar, jari kakiku mengeriting.

“Oh, kontolmu besar sekali. Tuhan, aku tak bisa.”

“Tentu mama bisa.

Ia gerakkan kontolnya pelan, kontolnya menghilang ditelan memekku. Aku tak percaya semuanya bisa masuk. Aku berbisik.

“Mama malu.”

“Karena mama menyukainya?”

Ia pegang pinggulku. Ia tarik kontolnya dan menusuk kembali. Rasanya perutku ditusuk helmnya. Aku mengerang.

“Oh, pelan – pelan nak.”

“Bilang mama menyukainya dan bima akan pelan – pelan.”

Kugelengkan kepalaku.

“Mama takkan bilang begitu.”

Ia terus menusukkan kontolnya. Aku mengerang dan merintih.

“Jangan terlalu dalam nak.”

“Mama sangat basah.”

Ia tarik dan tusukkan kembali kontolnya lebih dalam. Aku tak bisa berbuat apa – apa kecuali melihat kontolnya menjamah memekku. Batangnya basah oleh cairan. Ia dorong lagi kontolnya, keras, tanganku menekan tembok.

“Oh.”

“Akui mama ingin diewe bima.”

“Tidak.”

Ia terus memompa kontolnya. Kutahan diriku agar tak bergerak, merintih sementara ia menusuk memek kecilku, klitorisku mengeras dan ikut terbawa masuk. Ia mulai mempercepat ritmenya. Aku mengerang keras. Aku tak bisa menahannya. Aku akan keluar dan dia akan tahu.

“Oh tuhan. Oh. Oh…… oh…………..”

“Mama keluar?”

Bima tertawa.

“Bima tahu mama menyukainya.”

Kakiku gemetar dan memekku membasahi batang kontolnya makin melumasinya. Ia makin keras ngewe. Meski memekku makin sensitif, ia terus saja mendorong kontolnya. Kucoba agar memelankannya dengan tanganku, tapi tak berguna. Ia tetap ngentot. Aku mengerng terus. Aku tahu ia bakal membuatku orgasme lagi. Aku tak bisa menahannya. Aku berteriak.

“Tuhan. Oh…. Bima….”

“Ya mah. Bilang mah, bilang mama menyukainya.”

“Mama keluar lagi!”

“Bima tahu.”

Kontolnya makin keras menekanku hingga pantatku terangkat.

“Oh, mah. Bima mau keluar mah.”

“Jangan. Jangan di dalam! Mama mohon! Mama hisap hisap aja. Keluarkan nak.”

Spermanya muncrat. Memenuhi memekku dengan lahar panas. Aku mengerang dan menutupi wajahku.

“Tidak…”

“Ya.”

Bima mengerang. Kontolnya masih menyembur di dalamku. Tak ada yang bisa kulakukan. Ia keluar di memekku. Sungguh buruk.

“Oh tuhan.”

“Oh.”

Tusukannya melemah. Ia jatuh menindih tubuhku tapi langsung kugulingkan. Kontolnya lepas dari memekku. Aku bangkit menuju kamar mandi, kubanting pintunya.

Aku bercermin, mataku merah karena menangis. Aku sungguh malu. Kulebarkan kakiku melihat memekku. Kurasakan spermanya mengalir keluar memeku.

“Oh tuhan. Oh tuhan, tidak. Apa yang kulakukan?”

Kuguyur tubuhku, kukorek memekku agar spermanya keluar. Aku tahu takk ada gunanya, tapi mesti kucoba. Bima mengetuk pintu kamar mandi.

“Mah? Mama baik – baik saja?”

“Tinggalkan mama. Mama tak ingin bicara sama kamu.”

Ia buka pintunya dan melangkah. Ia menatapku.

“Keluar!”

“Bima ingin memastikan mama gak apa – apa.”

Kubiarkan dia. Ia tak pernah mendengarkanku. Aku marah. Kembali kubersihkan memekku. Aku tak peduli ia melihat. Lagian ia telah ngewe aku.

“Mama malu dan kecewa sama kamu. Mama tak percaya kamu ewe mama seperti tadi, seperti pelacur yang kau ambil.”

Kutunjukan tanganku yang belepotan spermanya.

“Kamu keluar di dalam mama. Apa kamu tahu artinya? Mama akan hamil anakmu. Anakmu, bima. Apa yang kau pikirkan.”

“Bima tak berpikir mah. Bima lagi terangsang. Maaf.”

“Pergi saja. Mama bahkan tak sanggup menatapmu.”

“Ayolah mah, maafkan bima.”

Ia melangkah. Mendekat. Kontolnya setengah mengeras, dipenuhi cairan kami. Ia pegang pinggulku.

“Jangan sentuh mama.”

Aku marah. Tapi dia tak terpengaruh.

“Jangan begitu marah. Bima tahu mama menyukainya. Mama keluar dua kali.”

Dia makin dekat. Mencoba memelukku tapi kutekan dia.

“Hentikan.”

“Akui saja mama menyukai, nikmat.”

“Baiklah. Mama menyukainya karena memang nikmat, tapi tak berarti mama menginginkannya. Sudah mama bilang, mama juga perempuan, punya kebutuhan, tapi kamu anakku. Mama tak ingin seks sama kamu.”

“Kenapa tidak?”

Ia menatap memekku, lalu memegangnya dan mengusap klitorisku. Kusingkirkan tangannya.

“Kenapa tidak? Apa kamu gila? Kamu darah dagingku. Kamu lahir dari memek ini. Kamu tak boleh kembali.”

Ia menyeringai. Lalu ia dekatkan kontolnya ke memeku.

“Tidak. Sudah cukup. Jangan.”

“Aku selalu terangsang mah. Karena mama membuatku terangsang.”

Kucoba mendorongnya. Tapi ia terlalu kuat. Ia menarik tubuhku. Ia arahkan kontolnya dengan tangan.

“Tidak. Bima, jangan lagi nak.”

Tak ada waktu melawan saat ia mendudukanku di lantai. Ia dorong kontolnya ke memekku. Aku mengerang.

“Oh… hentikan nak, jangan ewe mama.”

Ia tekan kontolnya lebih dalam. Aku tak bisa pergi, tak bisa menghentikannya. Ia mulai memompaku. Kontolnya membesar dan mengeras dalam memekku. Aku mengerang.

“Kenapa kau lakukan ini nak?”

“Mama terasa enak. Mama tahu sebelumnya bima belum pernah ngewe.”

Kututup mataku saat ia mulai ngentot memekku. Aku berbisik.

“Hentikan nak.”

Ia tak peduli. Kontolnya makin keras. Aku tak bisa fokus. Kurasakan sensasi kontolnya memenuhi memekku.

“Memek mama nikmat.”

“Mama benci kamu.”

“Ya, tapi mama suka rasanya kan. Mama tak sabar ingin memainkan kontolku setelah mengeluarkannya dari vacuum. Dasar pelacur sange.”

Aku marah padanya. Terlebih karena dia benar. Ya, aku menginginkannya. Ya, rasanya sungguh nikmat. Tapi, beraninya ia mengejekku? Kutampar pipinya. Ia berhenti dan menatapku. Aku tak pernah menampar anakku sebelumnya.

Ia menyeringai. Tangannya memegang kepalaku, mendekatkannya dan menciumku. Kupegang bahunya mencoba mendorongnya tapi kontolnya mulai menusukku lagi. Perlawananku sia – sia. Akhirnya kubiarkan anakku menciumku, mengentotku, meremas dadaku.

Kakiku melingkari tubuhnya saat ia ngewe. Ia tahu ia akan membuatku keluar lagi dan tak kusembunyikan. Aku hanya berteriak dan menarik kepalaku ke belakang.

“Oh, tuhan. Ohh….”

“Yah… kau menyukainya kan pelacur”

“Dasar anak durhaka.”

“Oh… kan kupenuhi memekmu lagi.”

Aku tahu ia akan segera keluar saat ia makin dalam menekankan kontolnya. Lalu kontolnya menyemburkan sperma. Rasanya memekku dipenuhi spermanya. Aku hanya bisa mengerang.

Kami melihat memekku. Melihat kontolnya yang masih menancap. Menyemburkan hingga tetes terakhir. Akhirnya ia cabut kontolnya.

“Nikmat luarbiasa.”

“Apa kau selesai?”

“Huh?”

“Mama tanya sudah selesai? Apa kamu sudah cukup ngentot mama nak?”

“Ayolah mah. Gak apa – apa kok kalau memang suka.”

“Mama hanya ingin sendiri. Pergilah nak.”

Ia bangkit dan keluar. Kubersihkan lagi memekku. Akhirnya memekku dimasuki ****** lagi setelah sekian lama. Aku kembali ke kamar. Ke ranjang. Tidur. Anakku ngentotku dua kali. Rasanya ini salahku. Seperti kubiarkan dia melakukannya. Aku benci diriku. Aku tak pernah sekecewa ini sama bima. Ia memperkosaku. Aku dipermalukan.

Paginya, aku bangun lalu mandi. Kupakai baju kerjaku, memasang nama di dadaku. Kumasuki kamar anakku. Kubangunkan dia. Marah.

“Bangun!”

“Huh? Oh, mah.”

“Ayo mandi, lalu sarapan. Mama mesti ngomong sama kamu.”

“Uh-oh.”

Aku keluar dan ke dapur. Membuat sarapan. Bima datang. Rambutnya basah, tubuhnya berkilau, hanya memakai handuk.

“Duduk.”

“Jadi, mama marah ?”

“Mama tak hanya marah.”

Ia makan sarapannya. Aku tetap berdiri. Kusilangkan tanganku di dada. Kutatap dia.

“Semalam kau keterlaluan.”

“Mama menyukainya.”

“Diam! Dengarkan mama!”

“Tiga bulan lagi kamu ebtanas. Jadi, setelah kau lulus, mama mau kau pergi dari rumah ini. Kamu mengerti?”

“Mama serius?”

“Mama tidak bercanda.”

“Tapi bima anakmu mah.”

“Kamu bukan lagi anakku sejak meniduriku.”

“Apa artinya ini?”

Ia berdiri. Aku mundur selangkah.

“Jangan macam – macam. Jangan kira aku takkan lapor polisi.”

“Mah, mama menginginkannya. Dengar, bima ngerti mama marah. Tapi mama tetap mama bima, dan mima masih mencinati mama. Jika mama menyukainya dan bima juga menyukainya, kenapa kita tak boleh ewean?”

“Karena itu salah, bima!”

Ia maju selangkah tapi langsung kuambil pisau mentega dan memegangnya.

“Oh tuhan. Mah.”

“Jangan melangkah.”

“Tenang mah. Takkan ada yang tahu. Hubungan kita tetap tak berubah. Dengar…”

Ia mundur selangkah.

“Bima tahu bima jarang nurut. Jarang beres kamar, jarang buang sampah. Tapi bima janji, bima akan berubah jadi lebih baik. Hanya saja, mama tahu, kadang kita ewean.”

Kutaruh pisau.

“Bima. Mama tak menginginkannya. Mama serius, 3 bulan lagi. Dan mungkin setelah kamu keluar, jika kamu berkelakuan baik, mungkin mama akui bima lagi. Tapi mama tak bisa memaafkan apa yang telah terjadi. Sekarang, mama kerja dulu.”

Aku melangkah melewatinya, tapi ia memegang pinggangku.

“Tunggu.”

“Lepaskan bima.”

“Bima mau bicara. 3 bulan? Baiklah, mama benar. Mama seharusnya mengusir bima.

Kucoba singkirkan tangannya, tapi ia tetap memegangnya. Ia kembali menyeringai.

“Jadi, kurasa hanya tinggal 3 bulan bima bisa nikmati memek mama.”

“Tidak, bima.”

“Yah, sebab kupikir mama juga menginginkannya seperti bima, hanya saja mama tak mau mengakuinya.”

Ia menarikku lebih dekat. Aku mulai berontak.

“Hentikan bima. Atau mama lapor polisi.”

Dia tertawa. Membalikan tubuhku lalu mendorongku ke meja hingga wajahku berhadapan dengan piringnya, menarik tanganku kebelakang dan memegangnya.

“Oh tuhan. Tidak, jangan lagi.”

Aku menangis.

“Mama mohon. Jangan. Mama akan laporkan ke polisi!”

“Benarkah?”

Tangannya mengelus pantatku. Kupalingkan wajahku menatapnya. Ia membuka handuknya hingga kontolnya bebas. Kontolnya telah mengeras dan didekatkannya ke pantatku.

“Bima pikir mama akan melapor.”

“Ya.”

“Mereka akan menangkap bima atas perkosaan. Bima akan dipenjara. Bima takkan dapat kerja. Hidup bima bakal hancur. Ya, bima kira mama akan melapor sekarang juga.”

Kututup mataku saat ia mulai meraba cdku.

“Bima, mama mohon. Aku mamamu. Kamu tak bisa ngentot seenaknya.”

“Itulah yang bima lakukan. Kan bima jadikan mama pelacur bima. Akan bima entot mama sesukanya.”

Elusannya beranjak ke memekku. Jarinya ditekankan membuatku melenguh.

“Jangan nak, memek mama sakit. Saat mama bangun, memek mama memerah. Tolonglah nak, jika kamu mencintai mama, jangan seperti ini.”

Ia pelorotkan cdku hingga ke lutut. Lalu ia lebarkan kakiku dengan kakinya hingga memekku terbuka.

“Memek mama memang merah.”

Jarinya meremas memekku.

“Jangan nak. Mama sepong saja kontolmu. Mama takkan gigit. Tolong jangan ewe mama lagi.”

“Yah.”

Ia menyeringai. Kontolnya digesekan ke klitorisku.

“Apakah sekarang bagimu mama hanyalah untuk kau ewe?”

“Ya, untuk 3 bulan ke depan.”

Ia mulai menekan kontolnya ke memekku yang kering. Sakit rasanya. Aku tak siap diewe pagi ini.

“Ow, ow, ow! Tunggu, nak. Mama tak siap. Memek mama sakit.”

Ia tarik kembali kontolnya. Kuhirup nafas.

“Sial.”

“Biarkan mama bangun nak. Mama ingin sepong kontolmu. Mama takkan melawan. Tolong jangan memek mama. Rasanya sakit.”

Ia angkat tangannya mencolek dan mengambil mentega. Aku berbisik.

“Oh tuhan.”

Tangannya mengoleskan mentega ke memekku. Kututup mataku. Kontolnya menekan klitorisku lalu menusuk memeku dengan lumasan mentega. Aku mengerang. Dia melepas tanganku lalu memegang pantatku. Tetap menekanku agar tak bangkit. Ia tahu aku takkan beranjak.

“Enakkan? Ayo mah bilang. Bima tahu mama menyukainya.”

“Ya.”

AKu menghela pelan, dan aku menyukainya. Memeku terasa panas dimasuki kontolnya, tapi tuhan, tetap saja aku menyukainya. Ia mulai dengan pelan hingga memekmu beradaptasi lagi.

“Oh.”

“Benarkan. Bima juga bisa lembut.”

“Ini salah.”

“Kenapa?”

“Karena. Karena…”

“Benar.”

“Tuhan. Aku benci ini karena nikmat. Dasar anak nakal membuat mama melakukan ini.”

“Membuat mama menyukainya?”

“Ya. Ewe saja mama lalu tinggalkan mama sendiri.”

Kulebarkan kakiku. Sementara lututku terkunci cdku. Aku menelan ludah.

“Mama ingin diewe bima?”

“Tidak, tapi jika bima ngewe mama, lebih keras lagi.”

“Mama ingin diewe lebih keras lagi?”

Ia sengaja memelankan tusukannya. Aku ingin diewe lebih keras, meski memekku sakit. Aku ingin diewe lebih keras dan dalam.

“Tidak.”

Aku bohong.

“Mama hanya ingin ini cepat berlalu.”

“Cepat berlalu? Bima baru saja mulai. Saat mama pulang kerja. Akan bima ewe lagi. Lalu mama masak. Setelah makan, bima ewe lagi. Dan setelah mama di ranjang, bima ewe lagi. Bima mungkin tidur di ranjang mama.”

“Tuhan…”

“Dan besok pagi…”

Ia tekan kontolnya lebih keras hingga mentok. Tanganku menabrak gelas. Aku tak peduli. Aku hanya ingin dia melakukan itu lagi.

“… besok, kurasa bima akan bangun lebih pagi, mandi dengan mama agar ****** bima dibersihkan mama sebelum ngewe lagi.”

Ia percepat ritme tusukan kontolnya pada memekku yang makin basah hingga membuat mejanya bergetar. Aku mengigau nikmat. Bahkan tak lagi kurasakan sakit pada memekku. Aku hanya ingin dia terus mengentotku dan aku senang dia perlakukan aku seperti ini. Aku berbisik.

“Oh… mama hampir keluar.”

“Bima tahu. Mama terus bilang gak menginginkannya dan terus keluar. Oh. Mama tak tahu apa yang mama inginkan yah?”

Kugigit bibirku, lalu menjerit saat orgasme melanda. Kakiku terangkat dari lantai. Cd ku robek saat kucoba melebarkan kakiku agar kontolnya menusuk makin dalam. Kenikmatan yang sangat membuatku menjerit dan menangis agar dia berhenti.

“Berhenti dulu nah. Oh, nikmat… tolong nak.”

Ia pelankan ritmenya. Aku terengah – engah di meja, rasanya memekku makin sensitive. Ia mulai lagi tusukannya. Aku tahu ia akan segera memuncratkan sperma lagi. Tuhan, gimana jika aku hamil?

“Oh. Bima gak tahan mah……”

Ia muncratkan spermanya memenuhi memekku, seperti tadi malam, dan aku tak bisa berbuat apa – apa. Spermanya bercucuran dari memekku. Kenapa rasanya nikmat? Aku berbaring di meja saat ia cabut kontolnya. Kurasa aku tak sanggup berdiri. Aku tak berdaya.

“Oh, sial. Bima telat sekolah.”

Kudengar ia berlari. Lalu muncul lagi, memakai pakaian. Lalu pergi.

“Selamat tinggal mah.”

Setelah pintu menutup kembali, kucoba bangun. Kulihat diriku, spermanya ada di mana – mana. Di memekku, di pantatku, di rokku. Aku mundur, goyah. Kupakai cdku. Kubenarkan rokku, tapi apalah artinya?

Aku berangkat kerja. Perasaanku tak menentu. Aku tak bisa menghitung berapakali aku akan ewean mulai sekarang hingga 3 bulan kedepan. Jika saja aku berani mengusir anakku. Memekku sakit lagi.

“Telat lagi.”

Bosku menyindir. Aku bahkan membiarkannya. Aku hanya kerja, mengganguk saat adikku bertanya apakah aku baik – baik saja. Aku tak ingin dia tahu yang terjadi, bahwa sekarang aku adalah mainan seks anakku, bahwa anakku ngentotku penuh hasrat, bahwa memeku dipakainya.

Saat siang, kutempelkan es ke memekku agar tak sakit. Aku tak ingin makan. Otot – ototku lelah. Yuni menghampiriku.

“Hey.”

“Hey. Apa kau baik – baik saja?”

“Ya.”

“Tentu saja. Ayolah, beritahu aku apa yang terjadi. Aku tahu ada sesuatu. Bima lagi kan?”

“Aku tak ingin membicarakannya. Tak ada masalah lagi”

“Ia ngewe kamu kan?”

“Huh. Tuhan, tidak. Tentu tidak. Dia anakku.”

“Rahma, kau taruh es di memekmu.”

“Tidak.”

“terlihat bekas sperma di cd mu dan kau berbau seks. Bahkan rambutmu yang tak rapi menunjukannya.”

Aku menunduk. Tanganku menutup wajahku.

“Aku diewe tiga kali.”

“Tiga? Baru saja kemarin kita bicara.”

Kutatap dia.

“Yuni. Ini serius. Ia hanya, menarikku tadi malam, dua kali. Lalu tadi sebelum kerja. Ia menarikku ke meja dan ngewe.”

“Wow. Aku cemburu.”

“Yuni. Dia anakku. Aku tak ingin dia melakukannya. Dia memperkosaku.”

“Apa kau menyukainya?”

“Tentu aku suka. Tapi aku tak menginginkannya.”

“Jika kau menyukainya, bukan perkosaan.”

“Bukan begitu hukumnya. Dan bahkan ini lebih buruk. Ia bilang akan mulai ngentot kapanpun dia mau, tiga atau empat kali sehari.”

“Wow, aku ingin diewe tiga kali sehari.”

“Yuni, tolonglah.”

“Oke, maaf, tapi ini kan yang selalu kau katakan. Kau butuh pria. Kau mendaptakannya.”

“Anakku bukanlah pria yang kuinginkan. Ini menjijikan.”

“Aku tak punya anak pria, jadi aku tak tahu. Tapi kurasa ini abnormal. Baiknya kau jangan bilang siapa – siapa.”

“Aku tahu. Tapi apa kau tak merasa jijik?”

“Aku? Aku sudah jilat memekmu dan aku adikmu.”

“Itu tak sama. Kita tumbuh bareng. Kita hanya main – main. Tapi yang dia lakukan sangat serius, permanen. Dia muntahkan di memekku. Aku mungkin hamil.”

“Oh.”

“Ya.”

“Nih, ambil.”

Ia memberiku pil anti hamil dari tasnya.

“Aku selalu siap.”

“Aku tak ingin ini. Aku ingin bantuan. Aku harus menghentikannya. Lihatlah.”

Kubuka pahaku, kuangkat rokku dan kupelorotkan cdku. Memekku terlihat sangat merah, bahkan masih ada sisa mentega dan sperma.

“Sial. Dia benar – benar ngentot kamu. Itu hanya dari tiga kali?”

“Ya. Sudah kubilang, kontolnya gede.”

“Biar kusentuh.”

Ia menyentuh memeku, lalu memasukanjarinya.

“Yuni…”

Ia tarik kembali jarinya, memasukan ke mulutnya, lalu menghisapnya.

“Mmm, ini mentega?”

“Itu sperma anakku!… dengan mentega, ya. Tadi pagi memekku kering.”

Yuni tertawa.

“Aku tak pernah mencoba mentega.”

Kupakai lagi cdku.

“Aku mesti gimana? Aku tak bisa terus dengannya. Aku butuh bantuan. Kita tak boleh ngewe anak sendiri.”

“Oke, gini aja. Jika dia memaksamu, aku tidur di rumahmu. Melindungimu dari kontolnya yang besar dan nakal.”

“Benarkah?”

“Ya. Pasti menyenangkan.”

“Tapi hati – hati sama bima. Ia mungkin ngentot kamu.”

“Oh, aku bisa menanganinya.”

Aku agak gugup saat aku pulang. Yuni ikut denganku. Aku ingin kasih tahu bima bibinya tidur di rumah. Aku ingin yuni terus di sini sampai seminggu lebih. Ku ketuk pintu kamarnya. Kubuka lalu aku masuk.

“Hey mah. Bima nunggu mama.”

Ia bangkit dan mendekatiku. Seringainya menunjukan ia siap ngentot kapan saja.

“Diam. Yuni di sini.”

“Bibi yuni?”

“Ya. Ia nginap di kamar mama.”

“Jadi, begitu ya.”

“Jangan lakukan apapun. Dia tak tau apa – apa. Dan mama tak ingin dia tau.”

“Oke mah, tapi saat bibi pulang, aku entot mama.”

Aku melotot.

“Bima, mama bukan budak seks. Jangan perlakukan mama seperti itu.”

Kusuruh bima keluar menyambut bibinya. Kami pun keluar.

“Hai bima.”

“Halo bi.”

“Apakabar?”

“Baik bi.”

“Gimana sekolahnya?”

“Lancar.”

Yuni dan aku lantas masak untuk malam sementara bima ngobrol dengan kami. Untuk sesaat, aku bahkan lupa kejadian tadi pagi. Mungkin aku bisa minta yuni pindah ke sini. Kami makan malam. Lalu nonton tv. Aku ke kamar mandi. Di dalam kudengar obrolan mereka, aku tak senang mendengar percakapan mereka.

“Bima tak percaya mama kasih tahu soal vacuum.”

“Ibumu ceritakan semua.”

“Apa mama cerita yang lain lagi?”

“Ada yang lain? Kau masukan kontolmu ke mana lagi?”

Bima tertawa.

“Mama tak bilang apa – apa lagi?”

“Dia bilang kontolmu gede.”

“Benarkah?”

“Tapi mungkin dia hanya melebih – lebihkan. Ibumu selalu takut akan seks. Semua ****** diaanggapnya gede.”

“Bibi mau melihatnya?”

“Oh, tidak.”

“Apa bibi juga takut seks?”

“Aku? Tidak. Aku hanya khawatir kau perkosa seperti ibumu.”

“Ha! Aku sudah mengira mama ceritakan semuanya.”

“Anak aneh mana yang ngentot ibunya sendiri? Kau seharusnya malu.”

“Jangan percaya kata – kata mama. Mama malah menyukainya.”

“Ya. Makanya dia minta bibi tidur di sini agar melindunginya darimu.”

“Dan siapa yang akan melindungi bima dari bibi?”

“Oh, anak kecil, kau takkan tahu mesti ngapain sama bibi.”

“Bibi tak tahu mesti gimana gimana saat ada ****** di memek bibi. Aku tahu bibi telah jilat memek mama bertahun – tahun.”

“Kok tahu?”

“Aku pernah melihat kalian waktu kecil. Sungguh trauma. Bibi sama jahatnya dengan bima. Mencoba mengambil keuntungan dari mama.”

“Dasar kau bajingan, lebih baik jangan kau sentuh dia lagi.”

“Bibi ingin bima berhenti?”

“Tentu.”

“Gampang bi, tinggal bilang saja.”

“Apa maksudmu?”

“Bilang saja. Setelah mama tidur.”

Aku tahu maksudnya. Kubuka dan kututup pintu keras agar mereka tahu aku akan datang. Mereka bertingkah seolah tak bercakap – cakap. Aku kembali nonton tv. Kami terdiam. Sekarang aku menghawatirkan yuni. Bima mungkin akan mencoba ngewe yuni. Dan kemungkinan yuni akan membiarkannya. Mungkin yuni kira itu akan melindungiku, tapi aku tak mau yuni melindungiku dengan cara itu.

Lebih – lebih, aku cemburu. Aku tak ingin yuni ngewe bima. Bima anakku! Jika ada yang ngewe bima, orang itu harus aku. Mungkin aku tak menginginkannya, tapi aku tak ingin yuni menginginkannya juga. Aku tak tahu mesti ngapain. Haruskah kubilang sesuatu? Haruskah kusuruh yuni agar tak bicara pada bima? Apakah yuni sadar bima adalah ponakannya? Apakah bima sadar yuni adalah bibinya? Sepertinya dunia mulai gila.

Tak lama, aku dan yuni masuk kamar. Bima terlihat senang saat bilang selamat tidur. Dia tahu akan dapat apa, memek bibinya. Tapi aku tak bisa melindungi yuni meski yuni ingin dilindungi. Bima hanya tinggal ngewe memekku, dan memekku makin sakit. Aku takut kontolnya. Seperti ia punya senjata yang tak bisa dikalahkan. Aku menyalahkan diriku telah merubah bima menjadi monster.

Aku dan yuni ganti baju. Sekarang hanya memakai cd dan tshirt, tanpa bh. Seranjang.

“Selamat tidur.”

“Ya.”

“Kau baik – baik saja?”

“Ya, tentu.”

“Mau kujilati memekmu?”

“Tidak, rasanya masih sakit.”

“Oh, oke.”

Ia menguap. Kucoba bilang sesuatu. Tapi apa?

“Terimakasih mau datang. Bima jadi normal lagi.”

“Mmm, ya. Tidurlah.”

“Apa kau akan nginap lagi?”

“Ya, jika kau mau”

“Besok malam?”

“Ya. Tidurlah. Besok kita mesti kerja.”

Aku tak bisa tidur. Aku tahu dia akan ke kamar bima dan diewe. Tapi aku takut tak hanya berakhir di situ. Yuni akan menyukainya. Mungkin bima takkan ngewe aku lagi, takkan butuh aku lagi. Dia punya bibinya, yang lebih cantik. Susu dan pantatnya lebih besar. Mungkit dia tahu yang akan terjadi. Tetap saja, aku jadi marah, sepertinya ia merebut anakku dariku.

Yuni bahkan tak mau menunggu lama. Ia berbisik.

“Rahma, tidur belum?”

Aku tak menjawab. Aku rasa dia sudah tak sabar. Ia bangkit pelan – pelan, menuju pintu, lalu menghilang. Kubuntuti dia, kuintip dari pintu. Yuni mengetuk pintu kamar anakku, pintunya terbuka dan yuni masuk. Kuikuti, kudorong pintu sedikit hanya agar aku bisa mengintip.

“Kukira bibi takkan datang.”

Bima berdiri, kontolnya menyembul dari boxernya. Yuni berdiri di depan bima, bajunya menutupi cdnya, tapi susunya yang besar jelas terlihat putingnya yang keras.

“Aku di sini demi ibumu. Yang kau lakukan membuatnya membenci diri sendiri. Kau mesti hentikan.”

“Sudah kubilang mama menyukainya.”

“Mungkin, tapi ia tak ingin menyukainya.”

“Minta saja dengan baik.”

“Apa maksudnya? Bibi takkan main seks denganmu, jadi jangan pernah memintanya.”

Aku terkejut. Adikku tak mau ngewe anaku. Ia benar – benar ada untukku. Betapa baiknya. Tapi sekarang dia dipandangi bima.

“Kita bertaruh saja bi.”

“Bibi tak taruhan sama anak kecil.”

“Bibi yakin? Bima jamin taruhan ini akan membuat bima berhenti ngewe memek mama lagi, baik menang ataupun kalah.”

“Taruhan apa?”

“Akan bima biarkan mama, jika…”

Yuni menunggu.

“Jika bibi bisa nyepong ****** bima seluruhnya. Mama tak pernah bisa. Setengahnya pun tidak. Tapi jika bibi bisa sampai bibir bibi menyentuh testis bima, bima akan minta maaf sama mama dan takkan menyentuh mama lagi.”

Yuni terlihat gugup. Matanya membesar mungkin mengira – ngira seberapa besar ****** anakku. Aku ingin masuk. Jangan bertaruh!

“Dan jika bibi tak bisa?”

“Lalu aku akan berhenti ngewe mama dan mulai ngewe bibi.”

“Permisi?”

“Bima kasih waktu tiga menit. Jika bibi bisa, bibi menang. Jika tak bisa, bima ewe memek bibi sekarang juga dan kapanpun bima mau. Mama akan mengusir bima jadi bima akan tinggal sama bibi dan bibi bisa jadi teman ngewe bima.”

Oh tuhan, aku tak mau membuat yuni melakukan itu. Aku tahu yuni akan kalah. Ini salahku. Seharusnya tak kutaruh masalahku pada pundak yuni. Aku kakaknya. Tapi aku takut membuka pintu dan menghentikannya.

“Bima tahu? Bibi jago nyepong.”

“Buktikan. Bibir sampai testis. Tak begitu susah kan?”

“Dasar bajingan, biar bibi lihat dulu kontolmu.”

“Tidak. Sekali kukeluarkan, taruhan langsung mulai.”

Yuni melihat selangkangan bima sekitar satu menit.

“Baiklah.”

“Ha, bibi pasti muntah.”

Lalu bima melorotkan boxernya. Nampaklah kontolnya yang panjang besar. Bahkan belum keras. Yuni terbelalak dibuatnya. Sekarang yuni tahu. Bima menyeringai. Ia pegang kontolnya dan dikocok beberapa kali hingga membesar dihadapan mata yuni.

“Sial. Mamamu tak bohong.”

“Ayo, berlutut.”

“Sabar, bibi tak tahu ini.”

“Bibi sudah janji. Berlutut.”

Yuni melangkah mundur, tapi bima memegangnya bahunya dan menekannya agar berlutut. Yuni menghela nafas menatap kontolnya.

“Ayo.”

Bima masih mengocok batangnya. Sekarang makin keras. Melihat yuni berlutut makin membuatnya terangsang. Tuhan, yang kulakukan telah membangunkan iblis seks.

“Buka mulut. Waktu bibi tinggal dua setengah menit lagi.”

Yuni menjilat bibir dan tangannya yang gemetaran memegang kontolnya. Sepertiku, kontolnya terlalu besar bagi tangannya. Yuni terlihat tak semangat saat mulai mengocok. Yuni bahkan tak tahu mesti mulai dari mana, ia menelan ludah lalu mulai membuka rahangnya.

Ia masukan helm ****** hingga memenuhinya. Bibir dan giginya terus membuka. Aku tahu ****** itu telah mentok di tenggorokan yuni, karena ia mencabut kontolnya lalu tersentak dan batuk. Bima tertawa.

“Bibi terlalu lama jilat memek. Sial, mama ternyata lebih baik.”

“Anjing kau.”

Aku tahu yuni sadar apa yang akan terjadi kalau ia gagal. Tapi ia coba lagi. Rahangya membuka dan ia masukan lagi ****** itu. Lehernya menegang dan saat mulutnya menutup, ia terusa masukan kontolnya agar amblas semua. Airmatanya jatuh. Ia batuk tapi tak mencabut kontolnya. Tangan bima mulai meremas rambut yuni.

“Oh. Tubuh bibi bagus.”

Yuni tak merespon. Ia mencoba memasukan kontolnya mili demi mili, tapi kulihat ia menggetar hingga akhirnya ia cabut kontolnya, terbatuk dan muntah. Aku merasa bertanggung jawab. Adikku melakukannya untukku tapi aku tak punya keberanian untuk masuk dan menghentikannya, menyuruh yuni pulang, dan membiarkan anakku mengentotku. Aku hanya melihat yuni kembali mencoba.

“Bima tak sabar ngewe bibi. Memek mama bagus, tapi pantat bibi seksi. Kurasa bima akan ngentot anus bibi dulu.”

Mendegar ucapan bima membuat yuni mencoba lebih keras lagi. Ia masukkan kontolnya lebih dalam lagi. Tak mungkin masuk semua tanpa latihan. Aku ngeri menyadari akan melihat adiku diewe anusnya oleh anakku. Setidaknya aku tak pernah dibegitukan.

“Ayo, bibi pasti bisa.”

Bima menyeringai. Tenggorokannya bergerak dan ia tarik kontolnya, muntah, batuk. Lalu ia bersihkan mulutnya dengan tangannya.

“Tuhan.”

“Hampir saja.”

“Bibi bisa… masih…”

“Maaf bi, waktunya habis.”

Bima angkat yuni seperti boneka. Yuni melawan saat didorong ke ranjang.

“Tunggu, biar bibi coba sekali lagi. Bibi hampir bisa!”

“Bibi punya banyak kesempatan, tapi malam ini, anus bibi milik bima.”

“Tidak. Tunggu bima, itu tak adil.”

Ia dorong tubuh yuni. Yuni mencoba bangun tapi bima dibelakangnya, menekan kepalanya hingga menyentuh kasur. Tangannya yang lain menyingkirkan baju hingga cd nya terlihat.

“Tunggu!”

Yuni menangis.

“Bima, aku bibimu! Kau tak boleh begini!”

“Bibi seperti mama saja. Bima akan pelan – pelan kok.”

“Tidak, jangan ewe anus bibi. Bibi sepong saja kontolmu.”

“Pasti bi.”

“Oh tuhan.”

Yuni meringis saat cdnya dipelorotkan.

“Bibi mohon jangan di anus.”

“Bibi ingin memek bibi diewe?”

“Ya. Tolong, memek bibi saja. Jangan anus.”

“Anus bibi pernah dipakai sebelumnya?”

“Ya, sekali. Rasanya seperti neraka. Padahal hanya separuh kontolmu.”

“Bibi ingin di sini?”

Bima menekan kontolnya ke memek yuni. Yuni mengela napas. Lalu kontolnya melesak di memek yuni.

“Yess…”

“Sial, memek bibi basah. Bima tahu bibi menginginkannya. Bibi lebih jalang dibanding mama.”

“Bibi izinkan bima ngentot memek bibi semau bima, hanya saja jangan anus bibi.”

“Sial. Bibi tak sesempit mama.”

“Oh… pelan – pelan!”

Bima memegang pantat yuni dan menusukannya lebih dalam. Yuni berteriak tapi bima menutup mulut yuni dengan tangannya.

“Diam. Ntar mama bangun.”

“Sial, kontolmu besar. Tuhan, ya.”

“Suka?”

“Ya. Oh… ewe bibi. Oh…”

“Aku tahu bibi suka.”

“Oh… keras lagi…”

Aku bahkan lebih cemburu. Seperti yang kutakutkan, yuni menyukainya dan sekarang anakku bakal tinggal dengan yuni dan mulai ngentot yuni. Aku merasa ditinggalkan, aneh, karena aku benci yang telah dilakukan anakku padaku. Tapi sekarang, saat kulihat ia melakukannya dengan orang lain, aku berharap itu aku. aku tak peduli jika memekku sakit lagi. Aku hanya ingin anakku terus ngentot aku. Aku ingin seks, dan sekarang aku kehilangannya. Aku menyesala… sampai bima katakan sesuatu.

“Anusnya sudah siap bi?”

Yuni melihat ke belakang menatap anakku.

“Tuhan, tidak. Terus ewe memek bibi saja. Sungguh nikmat. Kau boleh ngentot memek bibi, jangan anus bibi.”

“Ambil lotion itu lalu oleskan ke anus bibi.”

“Tidak.”

“Apa bibi mau bima masukan tanpa lotion? Terserah bibi.”

“Oh tuhan.”

Yuni menjulurkan tangannya mengambil lotion, menumpahkan pada tangannya. Lalu mengoleskan pada anusnya. Ia masukan jarinya ke anusnya agar berpelumas. Bima hanya melihatnya, menyeringai saat terus memompa memek yuni pelan. Kulihat memek yuni masih basah, membasahi batang kontolnya. Aku tak pernah diewe di anus, sungguh menakutkan. Bima menarik ****** dari memeknya.

“Cukup bi.”

“Bibi mohon, bibi belum siap.”

“Bibi sudah siap kok. Ini pertama kali bima main anus, jadi buka lebar lebar bi.”

Bima tekan kontolnya ke anus yuni.

“Pertama kali? Tunggu! Kau tak bisa hanya menusukkannya saja. Bibi bisa terluka.”

“Bima lihat di internet sepertinya gampang kok. Jangan banyak gerak bi.”

“Oh… Oh… pelan. Bibi mohon, pelan – pelan.”

Yuni mencengkram sprei, menutup matanya dan mengernyit. Bima menekan helm ****** ke anusnya. Lubang anusnya belum membesar, tapi lalu mulai terbuka dan helm kontolnya masuk. Yuni teriak dan kakinya menendang nendang.

“Shh! Ntar mama bangun.”

“Oh… oh…! Tolong cabutlah!”

“Oh… sempit bener.”

Bima mendesis, memegang pantat yuni dan mulai menusuk kontolnya. Yuni menangis tapi mencoba diam. Aku tak percaya melihat kontolnya ditelan anusnya. Dorongan bima membuat yuni menggeliat.

“Cukup sudah!”

Yuni menangis, mengeliat mencoba merangkak menjauh, tapi bima memengan pantanya, menusukan ****** lebih dalam lagi. permohonan yuni sia – sia. Bima tak peduli. Dan aku tahu, bima belum mau keluar. Aku tak tahu apakah yuni mampu bertahan lama, terlebih saat anusnya diewe.

“Oh tuhan, tolong hentikanlah.”

Aku harus menolongnya. Dia adikku, dan mesti kulindungi dari ****** anakku. Bima tanggungjawabku. Kubuka pintu dan melangkah. Mereka bahkan tak menyadarinya.

“Hentikan bima!”

“Huh?”

Bima memelankan kontolnya. Yuni memalingkan kepalany menatapku. Merintih. Terisak.

“Rahma?”

“Maaf yun.”

“Tak apa – apa”

Yuni berbisik. Kutatap bima.

“Bima. Hentikan. Cabut kontolmu!”

“Mah, kembalilah ke kamar. Bibi yuni bilang boleh kok. Bima gak perkosa bibi. Benarkan bi?”

Yuni mengangguk. Lelah. Aku tak yakin yuni menyadari pertanyaanku.

“Nah, benarkan. Bahkan bibi bilang bima boleh tinggal sama bibi. Bima bakal pergi. Bima takkan sentuh mama lagi. bibi yuni bakal menjaga bima.”

“Tidak. Kau takkan kemana – mana. Kau tetap di sini!”

“Apa?”

“Kau anak mama, tanggungjawab mama. Akan mama urus kamu dan kontolmu. Sekarang, cabut ****** dari anus bibimu.”

Kubuka bajuku hingga susuku terlihat. Lalu kubuka juga cdku hingga aku telanjang. Yuni mengangkat kepalanya, terlihat hampir marah, seperti merasa pengorbanannya percuma jika aku mengganggu.

“Makasihmah, tapi bima tahu mama tak menginginkannya. Bibilah yang menginginkannya.”

Kudekati bima. Kuelus rambutnya lalu kucium bima. Ini salah tapi aku menyukainya. Ia betot pinggangku dan menciumku sedangkan kontolnya masih di anus yuni.

“Cabut kontolmu dan masukan pada mama.”

Bima, untuk pertamakalinya hari ini menuruti kata – kata ibunuya. Ia cabut kontolnya. Yuni menghela saat anusnya terbebas, seolah ia telah menahan nafas sejak anusnya dibobol. Yuni berbalik terbaring lemah, pahanya terbuka, anusnya penuh lotion. Sementara memeknya terlihat merah oleh ****** bima.

Kutindih adikku hingga memek kami bersentuhan. Kucium bibirnya.

“Kau baik – baik saja manis?”

Ia mengangguk lemah.

“Ia ngentot anusku.”

“Aku tahu. Aku melihatnya. Maaf aku tak menghentikannya.”

Aku mendesis. Karena bima menekan kontolnya ke memeku. Kontolnya mudah masuk karena melihat adikku diewe membuatku basah.

“Oh…”

“Ya.”

“Enak?” tanya yuni.

“Ya. Bima memang nakal, tapi kontolnya hebat. Oh yes.”

****** bima mentok di memekku. Kuputar kepalaku menatapnya.

“Kau suka, sayang?”

“Ya. Bima suka memek mama.”

“Mama tahu.”

“Akhirnya mama mau?”

Aku mengangguk.

“Mama tak suka nonton kamu ngentot adik mama tanpa mama.”

Bima tertawa lalu mulai memompa memekku. Rasanya seperti tersengat karena memekku belum sembuh. Tapi kenikmatan mengalahkan rasa sakit.

“Tuhan. Mama menyukainya.”

“Mama cemburu kan?”

“Ya. Oh… sayang, ewe mama keras – keras.”

Bima menurut, memegang pantatku dan menhantam memekku. Adikku membelai rambutku dan kucium dia. Lidah kami tarung dan gigi kami saling menggigit bibir. Yuni mulai bertanya.

“Apa kau mau berbagi?”

Aku menyeringai.

“Bercanda yah? Kupikir kita berdua mesti menjaga agar kontolnya tetap senang. Baiknya kau pindah ke sini.”

“Bisakah aku dapat giliran? Anusku sakit, memekku butuh sesuatu untuk mengalihkan rasa sakitnya.”

“Sayang, ewe memek bibimu.”

“Oke mah.”

Ia cabut kontolnya, mengarahkannya dan menusukkannnya pada memek adikku. Ia mengerang, matanya membesar.

“Oh. Nikmat.”

“Maaf kuewe keras – keras anus bibi.”

“Tak apa, selama memek bibi terus diginiin.”

Saat yuni dientot, kuambil botol lotion lalu kulumasi anusku.

“Ngapain mah?”

“Menyiapkan anus mama untukmu nak.”

Yuni menghentikan rintihannya lalu melihat ke bawah.

“Huh, rahma? Jangan, kontolnya bisa membunuhmu.”

“Kita harus membuat kontolnya tetap hepi.

Kutatap bima. Ia memelankan ritme kontolnya dan menatap anusku.

“Sayang, dengar nak. Kamu mesti lembut, dan saat mama bilang cabut, kamu mesti mencabutnya dan kembali ngentot memek bibimu. Oke?”

“Oke mah.”

“Dan mulai sekarang, saat kami bilang tidak, kamu mesti berhenti. Memek, anus dan mulut kami sakit. Kamu mesti ngerti nak. Kami juga butuh istirahat.”

“Oke. Bima akan lebih baik. Bima hanya tak mau mama bilang tak boleh lagi untuk selamanya.”

Kutatap yuni. Ia mencoab mencerna kata – kataku saat memeknya diewe, tapi ia juga mengangguk.

“Bagus. Sekarang masukan kontolmu ke anus mama.”

Bima cabut kontolnya, yuni mengerang kecewa. Ia sentuhkan helm kontolnya ke anusku. Kututup mataku. Yuni memegang rambutku dan mencium dahiku.

Saat helmnya menekan anusku, aku ingin menghindar, tapi yuni memegangku. Lalu kurasa helmnya masuk anusku. Aku menangis.

“Oh… tuhan!”

“Shhh, shhh, kau akan baik – baik saja.”

“Sungguh besar.”

“Bima tahu, bima akan pelan mah.”

“ow, ow!”

Aku menjerit saat bima makin menusukannya. Aku ingin bilang berhenti agar ia mencabut kontolnya dan melarangnya melakukan ini lagi. tapi adikku tadi tahan lebih lama, dan aku ingin menyamainya. Kucengkram bahu yuni saat bima mulai memaju mundurkan kontolnya. Untungnya ia pelan – pelan.

“Oh…”

“Oh anus mama sempit bener!”

“Oh… kurasa aku tak bisa melakuka ini… oh… ow!”

Aku menjerit lagi.

“Bima, biarkan mamamu rehat. Ewe dulu memek bibi.”

Aku mengela nafas lega saat kontolnya dicabut. Kurasakan tubuh yuni bergerak saat memeknya ditusuk ******. Ia ngewe memeknya dengan cepat.

“Oh yes. Oh… aku jelas akan pindah ke sini.”

Aku tertawa pelan, tapi meski anusku terbakan, aku ingin anakku kembali padaku.

“Bima, masukan kontolmu ke anus mama.”

Bima menurut. Ia cabut ****** dari memek bibinya lalu ia tekankan pada anusku hingga anusku penuh. Ia tak lembut kali ini. Ia tusukkan sedalam mungkin hingga aku menjerit, kukuku mencakar punggung adikku. Aku menangis, yuni memegang pantatku dan melebarkannya membuat bima makin keras ngentot anusku. Aku menangis.

“Tuhan… oh… oke, stop, bagian yuni, bagian yuni!”

Ia cabut kontolnya dan mata yuni berputar lagi saat memeknya ditusik ******. Yuni mengerang lagi saat aku ambruk di tubuhnya, rehat mencoba memulihkan tenagaku, membiarkan anakku menikmati bibinya. Mungkin esok giliranku. Aku yakin esok memekku tak sakit lagi.

“Lebih keras lagi bima. Oh ya, bibi mau keluar.”

“Oh yah. Bima juga mau keluar. Boleh keluarkan di dalam bi?”

“Ya tentu. Keluarkan saja di dalam.”

Kudengarkan erangan anakku dan jeritan adikku saat mereka keluar bersamaan. Aku lega karena anusku bebas…saat ini. Bima berbaring lemas di ranjang. Aku bangkit dari tubuh adikku dan melihat memeknya yang memerah. Sperma bercucuarn hingga ke anusnya. Kubuka mulutku, kujulurkan lidahku ke memeknya, menyedot sperma sebanyak mungkin, lalu mejilati memek dan anusnya agar tak ada sperma yang terlewati. Yuni mengerang dan meraba rambutku.

Lalu kupegang ****** anakku. Kumasukan ke mulutku, kuperas batangnya agar spermanya keluar. Saat aku bangkit, yuni dan bima melihatku, tersenyum lalu tertawa. Aku bangkit dan berbaring ke tubuh bima. Adiku dan aku berbaring di tubuh bima, kiri dan kanan.

“Kalian mama dan bibi terbaik.”

“Dan kau juga anak baik.”

“Mmm, mama kan sering bilang betapa bangganya mama sama kamu. Tapi kamu masih mama hukum karena merusak vacuum mama.”

Tamat  
Tag Artikel
Postingan Lebih Baru
Postingan Lama
Comment
Lite Mode
Bookmark